Pekerjaan Ayah

Rabu malam yang gerimis. Taksi yang kutumpangi melaju lambat di jalan Jendral Sudirman. Kupandangi kendaraan-kendaraan lain yang berdesak-desakan di jalanan yang padat. Macet parah. Dalam hati aku mengeluh, akan berapa lama perjalanan menuju rumah yang harus kutempuh?

Suara Pak Supir membuyarkan lamunan singkatku, “Halte ini bagus sekali ya, Bu.”

Aku menoleh ke kanan, mengamati halte Transjakarta Tosari yang bentuknya seperti kapal pesiar. Terlihat mewah dan megah. Aku tersenyum tipis sebagai tanda sopan santun. Yang penting bukan halte yang mewah, melainkan jalanan yang lancar jaya, gerutuku dalam hati.

“Gimana caranya biar nggak stres di jalan, Pak?” tanyaku iseng, lebih untuk mengalihkan pikiran, dan tidak mengharapkan jawaban.

Terdengar Pak Supir tertawa ringan, sebelum menjawab, “Dinikmati saja, Bu.”

Dinikmati saja? Bagaimana bisa?

Ternyata itu menjadi awal percakapan yang menarik dengan Pak Supir. Ia lalu menceritakan tentang SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) yang sering dipraktekkannya di jalan, dengan memberi ketukan ringan pada titik tertentu di tubuh. Sangat membantunya dalam mengatasi kelelahan fisik dan emosional. Dengan sopan, ia menyarankan aku untuk juga mempelajari teknik tersebut. “Pasti banyak petunjuknya di Google, atau bisa juga Ibu ikut pelatihannya,” katanya.

Setelah itu, obrolan beralih ke berbagai pekerjaan dan usaha yang pernah dilakoninya sebelum menjadi supir taksi. Ia pernah bekerja di perusahaan-perusahaan yang cukup ternama di tanah air. Setelah merasa punya pengalaman dan modal, ia mengajukan pengunduran diri dan membangun usaha sendiri. Pernah sukses. Pernah tertipu dan bangkrut, patah arang dan putus asa. Lalu bangkit kembali, sampai pandemi Covid-19 kembali menyapu habis usahanya, dan ia terdampar menjadi supir taksi.

Dengan hati-hati, berharap ia tidak tersinggung, aku bertanya apakah penghasilannya akan cukup untuk ia melanjutkan rencananya,menguliahkan kedua anaknya. Yang bungsu sekarang kelas 3 SMA, yang lebih besar sudah semester 4 di salah satu universitas negri di daerah.

“Insya Allah, Bu, cukup. Asal mau bekerja keras. Di Taksi Biru ini, banyak jalan untuk mendapatkan penumpang. Bisa ngetem di stasiun, di mal, di bandara. Bisa pakai aplikasi. Prinsipnya, saya tidak akan menolak penumpang, walaupun jaraknya dekat. Barangkali itu jadi jalan untuk mendapat penumpang berikutnya.”

Lalu ia menceritakan juga berbagai skema bonus yang tersedia, yang sayangnya tidak bisa kuingat dengan detail. Yang jelas, untuk orang yang pernah merasakan hidup sangat berkecukupan, aku salut pada penerimaannya akan kondisinya sekarang.

“Tapi, anak-anak saya tidak tahu kalau bapaknya jadi supir, Bu. Saya nggak bilang. Mereka tahunya saya berbisnis aja lagi. Istri saya aja yang tahu.”

“Kenapa, Pak?” Maaf kalau lancang. Tapi aku penasaran. Apakah ia malu di depan anak-anaknya? Ataukah anak-anaknya yang akan merasa malu dengan pekerjaan ayahnya? Rasanya kok kurang sesuai dengan semangat dan keikhlasan yang ia tunjukkan tadi.

“Saya takut mereka jadi kepikiran, terutama yang bungsu ini. Nanti malah nggak mau kuliah.”

Aku diam, menunggu. Belum paham.

“Seperti kakaknya itu, Bu. Tadinya dia kuliah di sini, di Jakarta. Universitas Negri. Tapi begitu usaha saya jatuh, diam-diam dia ikut tes lagi, masuk universitas negri di daerah. Saya tahunya waktu dia udah keterima dan mau berangkat. Katanya, dia nggak mau terlalu nyusahin saya. Biaya kuliah satu semester di Jakarta, bisa untuk tiga semester di daerah. Lebih baik uang yang ada disiapkan untuk adiknya yang juga perlu kuliah.”

Aku terpana. 

“Sekarang dia juga kuliah sambil nyambi kerja, Bu. Di Cafe. Kalau nggak perlu banget, dia nggak minta duit sama saya. Kalau saya kirim duluan, nanti dia kirim balik ke rekening adiknya. Disuruh nabung untuk biaya kuliah.”

Rasa prihatin yang sempat muncul di hatiku akan nasib Pak Supir, terbang sudah. Ia tak pantas kukasihani. Ia pantasnya kukagumi. Tetap tegar dan optimis menjalani hari depan. Punya anak-anak yang pengertian dan saling mengasihi. Bukankah itu kekayaan yang tak ternilai?

Penat perjalanan dua jam dari Stasiun gambir, jadi tak terasa olehku, sampai akhirnya taksi biru ini berhenti di depan rumahku. Pak Supir menurunkan koporku yang juga berwarna biru.  Matanya berbinar hingga bisa kubayangkan senyumnya sumringah dibalik masker ketika menerima tipku yang tak seberapa. 

Terima kasih, Pak Supir, sudah berkenan berbagi cerita yang berharga. Semoga sehat selalu di jalanan, dan anak-anak lancar kuliahnya. Amin.

0 Shares:
4 comments
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like