Lastri Belum Mati

Orang-orang bilang, susuknya membuat Lastri susah mati, seperti saat ini. Meski ia hanya bisa terbaring diam di atas dipan, nyaris tanpa tanda-tanda kehidupan. Napasnya ditarik satu-satu. Makan sudah tak bisa, walau dengan bantuan alat medis sekali pun. Karena itu, Karmin mengerti ketika dokter yang merawat Lastri di rumah sakit kabupaten itu memulangkannya. Pasien dalam keadaan begini lebih baik berada di antara keluarga, didoakan dengan penuh cinta, hingga nanti diantar ke peristirahatan terakhir. Demikian kata sang dokter dengan berhati-hati, agar tak menyakiti hati.

Sebagai orang kampung tanpa pendidikan memadai, Karmin tak punya kemampuan bernegosiasi. Tak terpikir olehnya untuk membujuk dokter agar membiarkan Lastri dirawat di rumah sakit sampai umurnya nanti berakhir. Ia hanya punya cinta dan penghormatan pada Lastri. Perempuan tua itu dulu telah mengangkatnya dari lubang kemiskinan, dengan menerima ia bekerja di rumah besar Lastri sejak usianya remaja. Maka Karmin membalasnya dengan pengabdian tanpa keluh, patuh tanpa tanya atas semua perintah, termasuk merawat Lastri yang terserang stroke sejak setahun lalu. Bahkan demi kenyamanan Lastri, rumah selalu ia jaga bersih, termasuk memastikan tak seekor laba-laba pun bisa masuk ke dalamnya, karena ia tahu Lastri mengidap takut yang berlebihan pada serangga pembuat jaring itu

Maka dengan ambulan, Karmin membawa Lastri pulang ke rumahnya yang lengang. Lalu keesokan paginya, ia menelepon Dirga untuk mengabarkan kematian Lastri. Putra Lastri satu-satunya itu berjanji akan segera datang, meskipun hatinya gamang.

Sudah bertahun-tahun Dirga tak mengunjungi ibunya. Hal itu bukan tanpa sebab.  Ratri, putrinya, selalu sakit bila berada di rumah eyang putrinya. Sampai kemudian mulai terdengar bisikan orang-orang bahwa susuk di tubuh Lastrilah yang menjadi penyebab. Susuk yang puluhan tahun lalu telah membuat Lastri muda berhasil memikat seorang Lurah yang berkuasa untuk mengawininya dan menjadi ayah Dirga, sekaligus mengundang banyak makhluk gaib yang kemudian menakut-nakuti Ratri. Sejak itu, atas desakan Sita, istrinya, Dirga berhenti mengunjungi ibunya.

Dirga mengusap wajahnya, seolah-olah pikirannya akan terang dengan cara itu. Tak bisa tidak, kali ini ia harus mengajak istri dan anaknya untuk memberikan penghormatan terakhir pada ibunya. Meski separuh hati, Sita dan Ratri mengikuti kemauan Dirga.

Berangkat ketika matahari mulai meninggi, Dirga menyetir nyaris tanpa henti selama hampir sembilan jam. Meski begitu, mereka tiba di tujuan ketika senja hampir jatuh. Tanpa membuang waktu, Dirga dan keluarganya segera memasuki ruang tengah tempat Lastri dibaringkan, di atas kasur berlapis kain batik tulis yang halus. Tubuh rentanya telah dibalut oleh kain kafan berlapis lima.

Pak Dukuh yang mengiringi langkah Dirga dari pintu depan, menjelaskan bahwa mereka telah memandikan dan mengafani ibunya sejak sore. “Wajahnya saja yang belum kami tutup, jadi Mas Dirga dan keluarga masih bisa memberikan salam terakhir. Kalau cepat, kita masih bisa memakamkan almarhumah di hari ini.”

Dirga mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Ia yakin mereka semua tak ingin jenazah ibunya bermalam. Duduk bersila bersama istri dan anaknya, Dirga memandang wajah ibunya yang tertutup kain putih transparan di hadapannya. Sebongkah sesal memenuhi dadanya, mengingat ia telah membiarkan ibunya kesepian. Doakan ibumu, semoga dengan itu ia memaafkanmu, begitu perintah hatinya. Namun, ia bahkan tak tahu caranya berdoa. Tak pernah ia memanggil Tuhan sepanjang usianya.

Sebagai gantinya, ia berbisik dengan lirih, “Beristirahatlah dengan tenang, Ibu.” Dibukanya kain penutup wajah ibunya. Saat itulah, ia melihat kedua mata ibunya bergerak membuka, terbeliak lebar menatapnya!

Sontak Dirga mendengar jerit ketakutan orang-orang di sekitarnya. Ratri segera memeluk dirinya erat, namun kemudian ditarik Sita untuk segera keluar dari ruangan itu, menyusul para kerabat dan tetangga yang sudah kabur terlebih dulu. Tinggallah ia dan Pak Dukuh yang masih terpaku di situ. Bukan karena ia berani, tetapi karena kejut yang membuat tubuhnya beku. Entahlah, kalau Pak Dukuh.

Lastri mulai mengeluarkan suara-suara yang tidak bisa dipahami Dirga. Karmin yang datang terburu-buru dari ruang belakang segera mendekatkan telinganya ke mulut perempuan tua itu. Kemudian, seolah tak merasa ada yang ganjil, pemuda itu lalu melonggarkan ikatan-ikatan kain kafan, kemudian membopong Lastri masuk ke dalam kamarnya yang berpintu jati.

Tengkuk Dirga terasa dingin. Ia berdehem, mencoba menenangkan dirinya. Suaranya bergetar ketika bertanya, “Bagaimana bisa, ibu saya dikafani, sementara ia masih hidup, Pak?”

Pak Dukuh menjawab dengan suara yang mencicit, bagai tikus yang terjepit di pintu.  “Tapi tadi pagi, sudah tidak ada denyut nadi sama sekali, Mas.”

Dirga memaksa tubuhnya berdiri. Rasanya ia tak bisa berpikir. Dengan tertatih-tatih, ia melangkah ke kamar ibunya. Karmin telah mengenakan pakaian pada ibunya. Perempuan tua itu terbaring dengan mata yang nyalang menatap ke pintu, seolah memang menunggu kehadiran Dirga.

“Ibu….” Dirga merasa lidahnya kelu.

“Cucuku… Ratri… ma…na?” Lastri menjawab dengan terbata-bata.

Dirga menarik napas, berat. Ibunya sangat merindukan Ratri. Sedangkan Ratri pasti sedang sangat terguncang saat ini.

“Ibu istirahat dulu ya. Besok Ratri akan menjenguk ibu,” janji Dirga. Ia sentuh tangan ibunya. Terasa dingin, membuatnya berjengit kaget dan spontan melepaskan tangannya. Berkecamuk jutaan tanya di hatinya. Namun melihat mata ibunya yang kemudian terpejam, ia menahan diri. Mungkin besok pagi ia punya waktu untuk bertanya, sebelum pulang. Sekarang ia harus menenangkan istri dan anaknya dahulu.

***

Lonceng jam di ruang tengah berdentang dua belas kali. Ratri semakin gelisah mendengarnya. Gadis tanggung itu tak bisa tidur. Menyesal ia telah menolak ajakan untuk tidur bersama ayah ibunya malam ini. Ketukan tiba-tiba di pintu mengejutkannya. Mungkin ibuku, pikirnya menenangkan hati. Segera dibukanya pintu. Namun, ternyata Karmin yang berdiri di hadapannya. “Eyang memanggil Nona,” kata laki-laki itu.

Tatapan Karmin yang terasa ganjil membuat Ratri ingin menolak. Namun laki-laki itu telah melangkah seolah yakin Ratri pasti mengikutinya. Akhirnya, Ratri berjalan cepat menyusulnya. Lebih baik bersama seseorang, walau pun itu Karmin, daripada sendiri, pikirnya.

Wangi dupa dan kembang kantil menyambar hidung Ratri begitu ia memasuki kamar Eyang Putrinya. Dalam remang cahaya lampu tidur, bisa dilihatnya sosok eyangnya yang terbaring dengan mata tertutup di ranjangnya. Hatinya gentar, mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Namun, ia menurut ketika Karmin mempersilakannya untuk duduk di tepi tempat tidur. Laki-laki itu kemudian mengulurkan sebuah kotak perhiasan yang terbuka padanya. Ada sebuah cincin emas dengan bentuk bulat sederhana di dalamnya.

“Eyang Putri ingin memberikan ini pada Nona,” katanya.

“Kenapa?” tanya Ratri dengan suara serak.

“Nona sekarang sudah seumur Eyang ketika ia menerima cincin ini dari ibunya. Umur Eyang tak akan lama lagi. ia ingin memberikan ini sebagai hadiah terakhir.”

Ratri memandang cincin emas yang kini berada di telapak tangan Karmin. Entah mengapa, tiba-tiba muncul hasrat memiliki yang begitu kuat di hatinya.

“Nona sebaiknya mencuci tangan dulu dengan air kembang ini,” kata Karmin, seolah bisa membaca isi hati Ratri. Sambil menahan cincin dengan dua jarinya, laki-laki itu mengambil baskom berisi air kembang yang ada di atas nakas, lalu meletakkannya di tepi tempat tidur. Walau merasa heran, Ratri memasukkan juga tangan kirinya ke dalam baskom. Apa salahnya, pikirnya.

Ia terkejut mendengar suara lirih yang tiba-tiba keluar dari mulut eyangnya. Karmin dengan sigap memasukkan tangan kanan eyangnya ke dalam baskom. “Eyang ingin memasangkan cincin ini ke tangan Nona,” terangnya.

Ratri memperhatikan Karmin yang menuntun jemari eyangnya untuk memasangkan cincin itu ke jari manis tangan kirinya. Walau sederhana, cincin itu terlihat cantik sekali di jarinya. Namun, mendadak cincin itu hilang dari pandangannya, bagai masuk menembus kulitnya. Ratri menjerit. Ia menarik tangannya untuk memeriksa, namun jemari kaku Lastri tiba-tiba mencengkeram tangannya dengan begitu kuat. Tak bisa ia lepaskannya.

“Mang Karmin, to…long…,” desisnya panik. Kengerian melanda hatinya begitu melihat mata eyangnya terbelalak lebar, melotot padanya, dengan bibir membentuk senyum serupa seringai. Belum cukup, asap hitam berbau bangkai keluar dari mulut Lastri yang terbuka lebar, dan Ratri merasa tersedot ke tubuh eyangnya. Ratri menjerit histeris, sebelum kemudian tubuhnya ambruk menimpa tubuh ringkih Lastri. Ia kemudian tak ingat apa-apa lagi.

Esoknya, Dirga mendatangi kamar Ratri pagi-pagi sekali. Semalam rasanya ia mendengar jeritan putrinya, tetapi tubuhnya tak bisa bergerak dan matanya terasa begitu berat. Mungkin aku terlalu lelah, pikirnya. Ia menghembuskan napas lega ketika melihat tubuh putrinya terbaring aman di atas ranjang. Berpikir bahwa putrinya masih kelelahan, Dirga membiarkannya tidur. Ia kemudian sarapan sendiri, karena Sita juga belum bangun. Setelah mandi, ia menjenguk ibunya. Dilihatnya Karmin berdiri di samping tempat tidur, memandang Lastri yang terlihat gelisah.

Begitu mendekat, ia mendengar ibunya menceracau dengan suara yang tak jelas. Tangan kanannya yang tidak lumpuh, menggapai-gapai ke arahnya walau dengan gerakan yang sangat lemah. Matanya menyiratkan rasa takut, panik dan permintaan tolong yang sangat.  Terkejut, Dirga bertanya pada Karmin, “Ada apa?”

Karmin menggeleng. “Sudah begini sejak tadi pagi, Tuan,” katanya.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Ratri berjalan masuk mendekati mereka. Ia sudah mandi dan terlihat lebih cantik dari kemarin. Berdiri di samping ayahnya, dipandanginya tubuh renta yang terlihat semakin ketakutan itu dengan senyum kasihan. Digenggamnya tangan ayahnya, lalu berkata dengan pasti, “Aku mau tinggal di sini, Ayah, menemani Eyang.”

Dirga menoleh, menatap putrinya dengan heran. Dari mana keinginan itu datang? Bukankah sebagaimana ibunya, Ratri tak pernah senang berada di rumah eyangnya?

Namun, Karmin mengerti. Tadi pagi, untuk menguji hasil kerjanya, dengan diam-diam ia telah memasukkan seekor laba-laba ke kamar Ratri.  Dari pintu kamar yang sedikit terbuka, ia bisa melihat tubuh gadis itu gemetar, matanya membelalak, wajahnya pucat pasi, dan napasnya terengah-engah. Segera ia masuk dan menyingkirkan laba-laba itu dari pandangan Ratri, lalu membungkuk padanya.

“Nyonya,” katanya penuh hormat.

Ratri mengangguk. Senyum puas terukir di bibirnya. Tugas Karmin telah berhasil dengan sempurna.

 

0 Shares:
17 comments
  1. Wow, ending-nya..kusuka. Ya ampun ini, keren sekali sih.
    Enggak ketebak sama sekali akhir ceritanya
    Semua terasa ngalir dibaca, dan pas kapan mau diakhiri kisah ini.Merinding akutuuu
    Dirimu sungguh berbakat, Mbak
    Makin sukses ya…

  2. Mbak…keren banget nih cerpennya…horor banget, deg-degan bacanya. Lalu daku penasaran…akhirnya gimana dengan Ratri??? waduh susuk si nenek udah berpindah ya? dan Karmin adalah juru kunci yang memahami semuanya. Lanjut dong Mbak….

  3. Aku baca ceritanya seakan ikut terseret dalam cerita. Betapa mengerikannya sosok eyang lastri ini. Seperti sudah direncanakan sosok ratri sangcucu untuk menggantikan dan meneruskan ilmu Hitam sang eyang atau bisa jadi si ratri ini dijadikan tumbal oleh eyang nya sendiri demi sebuah kepuasan pribadi. Aku baca ceritanya meri ding sendiri.

  4. Weitsss kerennn. Selalu menunggu cerpen mba Intan aku tuu. Baru pertama baca cermisnya mba Intan dan tetep ternganga.
    Gimana nih kelanjutan Ratri yang terjebak di tubuh eyang?

  5. Cerpennya keren. Bikin merinding. Penuh dengan nuansa magis. Baca cerpen ini sendirian di sudut kamar pada malam hari pasti akan melengkapi suasana mistis itu.

  6. Merinding banget..
    Huwaa…aku pikir ilmu susuk ini akan menurun ke turunan yang dikehendaki. Ternyata ada dalang dari segalanya ya…
    Memang tugas abdi dalem itu berat. Yang kebayang adalah mistis ini nyata ada di sekitar kita dan masih dipercaya.
    Kata orang, wajah wanita yang menggunakan susuk itu beribu-ribu kali lebih cantik dan tampak bersinar. Apakah Lastri dan kini, Ratri pun begitu?

  7. mba aku bacanya dini hari ini loh, merinding euyyy 😀 sungguh bikin dag dig dug. Suasananya magis. Tapi aku salut banget, keren alurnya. Mantap mba, lanjutkan :))

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Sembilan Belas Tahun

Cerpen September 1999 “Assalamu’alaikum.” Kumsalam,”jawabku. Aku bergeser sedikit memberimu tempat. Wah, kamu cantik sekali. Maksudku, sama cantiknya dengan…