Api Dendam

Api dendam. Gambar asli dari chrisgulbin.com

Bocah itu tumbuh dengan nyala dendam di hati. Semakin besar tubuhnya, semakin besar dendam itu membakar. Pada anak-anak sebaya yang meneriakinya sebagai anak Bunian, anak jin, bahkan anak haram. Pada orang-orang dewasa yang membiarkan hinaan itu diucapkan. Pada guru-guru yang sering menghukum dengan menarik kupingnya yang mencuat ke luar. Pada kakek nenek yang membesarkannya tanpa menyembunyikan rasa terpaksa. Terlebih-lebih, pada laki-laki yang namanya selalu disebut ibunya dengan penuh cinta, namun tak pernah ada untuk mereka berdua.

Semakin ia besar, semakin sering ibunya menyebut nama laki-laki itu. Sambil memandang wajahnya lekat-lekat, ibunya akan berujar, “Kau Chairil putranya Bisaam. Seluruh dirimu adalah dirinya. Kecuali kedua matamu, itu milikku.”

Lalu ibunya akan mengulang cerita yang entah sudah berapa ribu kali didengar Chairil, sampai usianya yang sekarang 33 tahun. Bahwa ibunya bertemu Bisaam ketika mendaki Gunung Kerinci bersama keempat temannya. Perempuan itu jatuh cinta pada pandangan pertama, ketika ia membuka mata dan menemukan wajah tampan berada begitu dekat dengannya, hingga ia bisa merasakan hembusan napas lelaki itu dan menghidu wangi tubuhnya yang memabukkan.

“Ikutlah denganku,” pria itu berbisik.

“K.. kau siapa?” tanya ibunya, yang waktu itu masih begitu muda dan cantik. “Aku tak mengenalmu.”

“Tapi aku mengenalmu,” jawab lelaki itu. “Namamu Laila, kan? Namaku Bisaam.”

Laki-laki itu tersenyum, yang sungguh memikat Laila. ia mengaku telah mengikuti Laila sejak mereka berpapasan di kaki gunung. Bahwa ia mengagumi ayunan langkah kaki Laila yang begitu tangkas dan cekatan di antara bebatuan dan rerumputan gunung. Bahwa ia menikmati betul tawa Laila yang merdu bagai denting lonceng ketika tadi temannya bergurau bahwa Laila – satu-satunya jomblo di rombongan itu – akan bertemu dengan pangeran pujaannya di gunung ini. Bahwa ia terpesona pada mata bulat Laila, namun tak melihat kegembiraan di mata indah itu walau derai tawanya terdengar.

Laila terpesona.

Lelaki itu melanjutkan ceritanya. Bahwa ialah yang membantu teman Laila menyalakan api unggun dan menjaganya agar tetap menyala agar mereka berlima, terutama Laila, bisa menghangatkan diri di tengah angin dini hari yang dingin ini. Bahwa ia ikut gembira ketika Laila dan teman-temannya mengisi perut dengan kopi panas dan mie instan hangat. Bahwa ia lega melihat Laila dan teman-temannya bergulung dalam kantong tidur yang nyaman, dan bahwa ia mendengar mereka berjanji untuk bangun dan melanjutkan pendakian dua jam lagi, agar bisa tiba di Puncak tepat ketika matahari terbit. Maka ia bangunkan Laila sebelum waktu itu tiba, dengan menepuk lembut punggung tangan kanan Laila yang menumpang di atas pipi ranumnya.

“Sebentar lagi teman-temanmu bangun. Waktuku tak banyak. Berilah aku jawaban.” Lelaki itu mendesak.

Laila tak mengatakan apa pun.

“Kabulkanlah keinginanku. Tuntaskan kerinduanku.”

Lelaki itu menatap Laila tanpa berkedip, hingga Laila bisa membaca keinginan untuk memiliki yang begitu kuat dari mata sipitnya. Sungguh, Laila tak pernah merasa diinginkan sedemikian rupa. Bahkan tidak, dari kedua orang tuanya. Ibunya yang menikah karena dijodohkan, selalu mengatakan dirinya adalah beban. Ayahnya yang tak betah di rumah, jarang sekali menyapanya. Kedua adiknya mencari kesibukan sendiri untuk membunuh sepi. Laki-laki muda di sekitarnya dengan jelas hanya menginginkan tubuhnya. Sementara mata lelaki asing di hadapannya ini, bagai mengirimkan rindu yang tersimpan berlaksa tahun. Ah, Laila rela meninggalkan segalanya demi menikmati rasa diinginkan seperti itu selamanya.

Maka ia mengangguk, dan dalam sekejab ia merasa berpindah dunia, berada di taman dengan bunga-bunga beraneka warna yang bermekaran. Lelaki itu menyuguhkan berbagai buah dan dedaunan dengan kelezatan yang belum pernah Laila rasakan. Ia menjaga Laila yang kemudian menyegarkan diri dalam telaga berair biru. Ia baringkan Laila pada rumput hijau yang terasa begitu empuk dan nyaman. Laila merasa bagai di surga. Maka ia mengangguk ketika Bisaam bertanya maukah ia tinggal di tempat itu selamanya. Ia pasrah ketika lelaki itu membawanya berkelana dalam lautan cinta, sehari semalam, sampai gurat kecemasan tiba-tiba muncul di wajah Bisaam. Tanpa banyak tanya, Laila mengikuti Bisaam menghadap ayahnya, dan terkejut dengan kemarahan yang tumpah di depannya.

“Bukankah sudah kukatakan bahwa kau harus menikahi putri Datuk Ghazaar dari Klan Sodha?” suara ayah Bisaam terdengar menggelegar. “Mengapa hal yang demikian mudah tak bisa kau pahami? Kita, pemimpin Klan Aksata, harus bersekutu dengan mereka untuk menahan serbuan kejam Klan Simha. Aku, Datuk Sannan, tak akan mengingkari janji!”

Laila yang berdiri gemetar di samping Bisaam mendengar kekasihnya itu membantah atas nama cinta. Bantahan yang terlalu remeh bagi pemimpin yang berdiri di depannya itu. Apa artinya perasaan kasmaran dibandingkan dengan keselamatan seluruh klan? Datuk itu mengingatkan Bisaam pada tanggung jawabnya sebagai putra tertua pemimpin klan, serta mengancam akan mengasingkan Bisaam selamanya dari seluruh kaummnya, bila ia tetap pada keinginannya. Bisaam menyambut ancaman itu dengan kesediaannya, dan menarik tangan Laila untuk segera pergi. Namun, langkah mereka terhenti oleh sosok perempuan agung yang tiba-tiba telah berdiri di depannya. “Apa kau sampai hati meninggalkan ibu dan kesembilan adik perempuanmu, di tengah ancaman perang terbuka dengan Klan Simha?” tanya perempuan itu dengan nada tegas tetapi lembut.

Laila merasakan genggaman Bisaam di tangannya melemah. Lalu ia tak ingat apa-apa lagi. Sampai kemudian ia menemukan dirinya telah dikelilingi oleh orang-orang kampung di kaki gunung. Ramai suara mereka bagai dengung lebah membuat Laila bingung. Samar-samar ia menangkap mereka mengatakan bahwa ia telah hilang lebih dari 100 hari, bahwa mereka dan berbagai regu penyelamat telah mencarinya ke seluruh bagian gunung tetapi tak menemukannya, lalu pagi ini ia tiba-tiba ditemukan tertidur di bangku kayu, di depan rumah salah seorang penduduk. Kemana saja selama ini, tanya mereka.

Laila menjawab ia hanya pergi sehari semalam. Ia ceritakan pertemuan dan percintaanya dengan Bisaam. Namun, orang-orang menertawakan dan memberinya pandang kasihan. Tak seorang pun percaya pada ceritanya. Satu kenyataan yang pasti, perut Laila membuncit dari waktu ke waktu, hingga kemudian lahirlah bayi lelaki yang begitu tampan. Rambutnya lurus dan telah panjang sepinggang sejak lahir, kulitnya kuning terang, kupingnya caplang atau mencuat keluar. Benar-benar mirip Bisaam, pikir Laila. Bedanya satu saja, matanya bulat seperti Laila.

“Itulah kau, anakku,” kata Laila dengan mata berbinar, menutup ceritanya. Selalu seperti itu.

Sayangnya, hanya itu saja yang bisa didengar Chairil dari ibunya. Laila tak punya kalimat lain yang bisa disampaikan. Orang-orang bilang ibunya telah gila semenjak dilarikan orang ketika mudanya, dan kembali dengan janin di perutnya. Sebagian percaya ibunya telah bercinta dengan lelaki Bunian, makhluk tak kasat mata yang tak bisa dilihat sembarang orang. Sebagian lagi yang merasa waras menganggap orang bunian hanyalah pengalihan dari kejahatan manusia biasa pada Laila yang tak bisa terungkap.

Mulanya Chairil pun tak percaya. Sampai ia bertemu orang Bunian dalam penjelajahannya di hutan. Ya, ia telah memilih untuk bekerja di hutan dan gunung. Tempat dengan sedikit manusia sehingga ia bisa bebas dari pembicaraan mereka yang sering menyakitkan, sekaligus tempat ia bisa membuktikan ada tidaknya orang Bunian, atau ada tidaknya lelaki bernama Bisaam. Maka ia bergabung dengan kelompok pecinta lingkungan dan satwa liar, yang memungkinkannya masuk berbagai hutan di berbagai pulau.

“Akan kucari Bisaam untukmu, Ibu,” tekadnya. “Akan kubuat ia menyesal karena telah meninggalkanmu.”

Mulanya, ia takut masuk hutan. Seluruh tubuhnya bergetar takut ketika bertemu harimau Sumatera untuk pertama kalinya. Namun takutnya segera berganti heran ketika didengarnya harimau itu berkata, “Mengapa lewat sini, Tuan Bisaam? Di depan ada jurang yang dalam.”

Pahamlah Chairil, Bisaam itu ada. Lelaki itu bukan saja telah mewariskan wajah yang nyaris sama untuknya, tetapi juga kemampuan berkomunikasi dengan hewan penghuni hutan. Kemampuan yang sungguh memudahkannya dalam melakukan pekerjaan, hingga melambungkan namanya di panggung nasional sebagai aktivis yang sangat memahami satwa liar, yang memudahkannya mendapatkan sponsor untuk setiap perjalanan ke hutan mana saja yang ia mau. Hingga ia bertemu seorang lelaki Bunian, yang memanggilnya sebagai Tuan Bisaam, pewaris Klan Aksata.

Maka, sebuah rencana pun muncul di pikiran Chairil. Ia kembangkan kemampuannya untuk bisa beralih dunia yang hanya dipisahkan oleh tirai gaib yang tipis. Ia pelajari kehidupan di semesta Bunian yang terdiri atas berbagai klan yang saling bersekutu dengan ikatan yang rapuh. Kemudian ia rayu gadis-gadis bangsawan dari berbagai klan hingga mereka menyerahkan diri padanya yang mengaku sebagai Bisaam. Kesudahannya bisa ditebak, ramai-ramai kesatria dari setiap klan tersebut mencari Bisaam untuk menuntut balas atas kejahatan yang dituduhkan padanya.

Bagaimana pun tingginya kesaktian Bisaam, tak mampu ia bertahan dari keroyokan para kesatria tersebut. Tak seorang pun prajurit, apa lagi kesatria klan Aksata yang membelanya. Ayahnya yang marah dan malu atas tuduhan rendah itu, bahkan mengutuknya secara terang-terangan. Chairil menyaksikan pertarungan itu dari dunianya. Jelas terlihat olehnya, ketika Bisaam roboh dan menutup matanya dalam kehinaan.

Namun, Chairil tak juga merasa puas. Seluruh keluarga Bisaam harus bertanggungjawab atas penderitaanku dan ibu, pikirnya. Maka ia bakar sebatang ranting kering. Api segera merambat dan berkobar besar membakar hutan. Chairil tahu, walau berbeda dimensi, sumber kehidupan orang Bunian tetap berasal dari hutan di dunianya. Sebelum ia lari meninggalkan hutan itu, bisa dilihatnya kepanikan yang terjadi di istana kakeknya.

Tentu saja ia kemudian bergabung dengan orang-orang yang berusaha memadamkan kebakaran hutan itu. Bahkan ia giring hewan-hewan penghuni hutan untuk menyelamatkan diri, sambil menyaksikan Datuk Sannan dan kaumnya tak berhasil lari dari api yang mengepung mereka.

Esoknya, ia melihat nama dan fotonya terpampang besar di halaman pertama surat kabar, sebagai aktivis yang lagi-lagi telah menyelamatkan satwa liar. Rasa kecewa menguasai dirinya. Tak seperti yang ia duga, api dendam di dadanya ternyata tak juga padam seiring padamnya api yang ia nyalakan di hutan Kerinci itu.

-Gambar dari chrisgulbindotcom-

 

0 Shares:
28 comments
  1. Wow tulisannya bagus sekali. Mampu membawa pembaca hanyut dalam imajasi.
    Sukses selalu!

  2. Selalu suka tulisan mba Intan yang kaya diksi. Seolah-olah bisa merasakan semua yang terjadi di hutan. Jadi ingat dulu juga pernah trekking naik gunung. Emang ngga memungkiri kalau kita juga bersebelahan dengan alam lain yah. Dan memang harus selalu memberi salam.

    1. Waaah, terima kasih atas apresiasinya, ya Mbak Lintang. Saya juga suka blog Mbak Lintang dengan isinya yang sangat informatif dan bermanfaat. Nagomong-ngomong, alamat blog-nya aja udah puitis banget, lho 🙂

  3. Wah judulnya saja sudah menarik mbak
    Pas dibaca, ternyata emang benar ceritanya menarik
    Sampai menghayati yg baca

  4. Keren Mbak cerita pendeknya. Aku jadi membayangkan wajah Chairil kayak apa ya…
    Orang Bunian itu kayak gimana ya?…
    Memang ya kalau udah dendam, tak pernah terpuaskan…

    1. Alhamdulillah, terima kasih ya Mbak Hani, benar sekali, dendam itu susah terpuaskan. Ini saya juga hanya cari-cari di Google tentang Orang Bunian untuk jadi latar cerita, hehehe

  5. Keren banget…
    Btw waktu naik Kerinci dan beberapa malam nginap di rumah penduduk di Kersik Tuo, banyak dengar juga saya cerita tentang orang Bunian ini.
    Dalam cerita ini penyajiannya sangat luwes. Ditunggu karya selanjutnya ya

  6. Baca ini jadi ingat bunga rampai bahasa Arab. Bahwa rasa dendam itu seperti kayu yang dibakar api. alias kalau diturutin terus ngga akan habis2 ya kak.

  7. wah cerpennya baguus. kupikir dia kayak cerita perempuan yang kawin sama genderuwo trus anaknya mukanya kayak genderuwo ternyata tidak. hehe. memang kadang ada kejadian ya orang yang merasa perginya cuma sehari tapi di dunia nyata dia hilang berminggu-minggu ternyata diculik sama jin

  8. Wah, hutan Kerinci. mbak orang Kerincikah? Salam kenal. Sayangnya aku belum pernah mendaki, mungkin suatu waktu bisa, sudah pernah diajak namun belum ada kesempatan

  9. Rasa amarah yang diluapkan di tempat dan cara yang tidak tepat justru akan membahayakan banyak pihak yaa.. Gak hanya diri orang yang didendamkan, tapi juga ke lingkungan.

  10. Menarik kak aku sampai berpikir klan ini adakah? Gunung kerinci kan ada hehe sebagai orang visual pendeskripsiannya bikin aku berimajinasi lho.. tapi surat kabar dg foto nya ini bikn aku bingung sih itu gambar chairil?

    1. Terima kasih ya Mbak Hamim. Iya, Kerinci-nya ada, Klan-nya dari imajinasi, hehehe. Oh iya, maaf kalau kurang jelas ya menuliskannya, itu itu foto Chairil, dia dianggap pahlawan karena menyelamatkan hewan-hewan dari kebakaran (padahal dia juga yang membakarnya). Terima kasih ya masukannya…

  11. Dendam memang tak akan habis jika selalu dituruti. Tadinya saya pikir, ketika pertama kali Chairil ketemu harimau yang memanggilnya tuan bisaam itu dia akan bertemu dengan ayahnya untuk kemudian mempertemukan kembali dengan ibunya. Eh ternyata nggak. Hehe

    1. Iya, Mbak, Chairil keburu mendendam karena kegilaan ibunya dan bully yang ia terima sejak kecil. tapi bener banget Mbak Qoty, dendam nggak akan ada habisnya ya kalau dituruti.

  12. Keren banget ceritanya, Mbak Intan. Sayang Chairil nggak bisa mempertemukan ayah dan ibunya, ya. Bahkan tak sempat bercakap dengan ayahnya. Rasanya pengen baca lebih panjang lagi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like
Read More

Pelukan Habibah

Pagi itu, Sainah sedang menjemur pakaian ketika bumi berguncang. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh, andai tangannya tak segera memegang…