Pada tahun 2018, saya dan suami membawa Zahra ke dokter mata. Tidak ada masalah, sebenarnya. Hanya saja kami ingin berjaga-jaga, mengingat ia mulai intens bermain gadget dan banyak anak-anak seusianya yang sudah menggunakan kacamata. Saya tak ingin pengalaman saya dulu terulang pada putri saya.
Saya tak ingat dengan pasti sejak kapan mata saya mulai terasa kabur. Yang saya ingat, di kelas 1 SMP, saya sudah kesulitan membaca tulisan di papan tulis, padahal saya selalu duduk di kursi paling depan. Namun saya tak mengatakan apa-apa pada guru atau pun orang tua. Rasanya, saya tidak sadar kalau kondisi mata saya tidak normal.
Saya baru berpikir lain ketika guru matematika menegur saya yang sudah mencatat ketika beliau masih menerangkan. “Dengarkan dan perhatikan dulu sampai ibu selesai menjelaskan. Kalau sudah mengerti, baru boleh mencatat,” kata beliau waktu itu.
Saya letakkan alat tulis, lalu memandang papan tulis hitam yang tergantung di dinding kelas bagian depan. Ternyata saya tak bisa membaca apa pun. Semua tulisan itu kabur. Karena itulah, tadi saya berusaha menulis apa-apa yang beliau katakan, dengan harapan bisa mempelajari dan memahaminya bila telah tertulis di buku saya. Tentu saja beliau tidak tahu kesulitan saya itu.
Seusai kelas, saya bertanya pada teman di sebelah, apakah ia bisa membaca apa yang tertulis di papan tulis? Ia mengiyakan. Barulah saya sadar dan yakin, ada yang salah dengan mata saya.
Sepulang sekolah, saya minta ibu untuk duduk di kursi tamu, di samping saya, dan bertanya apakah beliau bisa melihat angka dan tulisan di kalender yang tergantung pada dinding di depan kami? Beliau mengangguk, bisa. Dan saya tidak bisa.
Ibu segera melapor pada ayah. Ayah pun membawa saya ke toko optik kacamata di kota. “Minus satu,” kata petugas optik setelah melakukan pemeriksaan pada mata saya.
Ayah kaget. “Saya kira baru minus seperempat,” kata beliau. Sejak saat itulah saya berkacamata.
Kembali ke Zahra, alhamdulillah matanya normal pada pemeriksaan di tahun 2018 itu. Kami pun lega. Tahun 2019, kami tidak menyempatkan diri membawanya periksa mata lagi. Apalagi di tahun 2020-2021, ketika covid-19 merajalela. Padahal menurut salah satu artikel kesehatan yang saya baca di tabloid, sebaiknya orang tua rutin memeriksakan mata anaknya setiap enam bulan.
Barulah di Januari 2022 ini saya dan suami membawa Zahra periksa mata lagi. Saya terpicu oleh cerita seorang teman yang dua orang anaknya sekarang harus pakai kacamata minus dua dan minus tiga. Kebutuhan itu baru terasa setelah keduanya memulai sekolah tatap muka. Sama seperti saya dulu, mereka tidak bisa membaca penjelasan di papan tulis. Selama dua tahun, perubahan itu tidak disadari karena selalu membaca dengan jarak dekat di rumah.
Dan saya, ternyata harus kaget seperti ayah saya dulu. Zahra pun ternyata harus menggunakan kacamata sekarang, dengan ukuran yang lebih dari dua kali lipat djbandingkan dengan ukuran kacamata saya ketika seusianya. Yah, kalau dulu saya hanya terpapar buku dan TV, ia terpapar gadget sepanjang hari, termasuk di jam-jam sekolah, dengan penerapan metode pembelajaran daring.
Hilang sudah keleluasaan tanpa kacamata baginya. Saya menyembunyikan perasaan prihatin darinya, dan membiarkan ia memilih bingkai kacamata yang ia sukai. Lalu saya menghibur diri dengan memandang karya-karya Zahra di gadget. Salah satunya ini, digambar hari ini di Ipad dengan program ProC*eate.

Semoga tidak ada yang sia-sia ya, Nak.