Sejak kecil ibu dan ayah telah mengajari aku dan saudara-saudaraku untuk menabung. Sebelum jajan, kami harus menyisihkan uang yang diberikan setiap pagi untuk dimasukkan ke dalam celengan yang disediakan.
Celengan itu bermacam-macam rupanya. Misalnya dibuat dari kaleng bekas kemasan susu kental manis. Ibu yang membersihkan kaleng itu sampai tak ada setetes susu pun lagi di dalamnya. Mengeringkannya, lalu menoreh bagian tengah atasnya dengan pisau, untuk membuat lubang tipis dengan ukuran yang pas. Cukup untuk memasukkan uang logam, tapi tak cukup untuk mengeluarkannya lagi.
Ketika menyimpan celengan itu dalam lemari di kamar, aku selalu teringat cerita ibu tentang celengan serupa milik anak kos tetangga kami dulu. Celengan itu selamat dari tangan pencuri yang menyantroni kamarnya, karena diletakkan berdekatan dengan bahan masakan dan bumbu dapur. Pastilah si pencuri tidak mengira kalau kaleng itu sebenarnya berisi uang.
Celengan kami lainnya berasal dari bambu yang tumbuh di sekitar rumah. Setelah ditebang, ayah membersihkan bambu dari miangnya, atau bulu-bulu halus yang bisa membuat kulit gatal. Lalu dipotong seruas, dan sisinya dilubangi seukuran uang logam. Agar tidak menggelinding kemana-mana, celengan itu dipakukan ayah ke dinding kamar.
Bila celengan sudah penuh, dengan berdebar-debar kami akan membongkarnya. Menghitung jumlah uang yang terkumpul, dan dengan gembira membelanjakan sebagiannya untuk membeli barang yang kami mau. Buku, mainan, atau yang lainnya.
Sebagian lagi kami masukkan ke rekening tabungan di bank. Untuk keperluan yang lebih besar, kata ibu. Aku ingat perasaan bangga yang muncul di hati, ketika teller Bank Rakyat Indonesia (BRI) tempat ibu membukakan rekening untukku memuji. “Waah, hebat, masih kecil sudah punya rekening di bank,” begitu kurang lebih katanya.
Ketika SMP, Ibu memberikan uang hanya di awal minggu. Kami diminta mengatur sendiri agar uang itu cukup untuk ongkos dan jajan seminggu. Tidak akan ada tambahan bila uang habis sebelum waktunya. Kalau berlebih, bisa menambah uang celengan. Tentu saja, praktek menyisihkan uang tabungan sebelum jajan, tetap wajib dijalankan.
Ketika SMA – dan selanjutnya kuliah – uang diberikan di awal bulan, dan harus cukup untuk sebulan. Bahkan mungkin untuk waktu yang lebih panjang. Kali ini, bukan cuma uang jajan dan ongkos yang harus diatur, tetapi juga uang makan dan kebutuhan lainnya, karena kami sudah merantau keluar kota.
Kami harus berhati-hati, jangan sampai uang habis sebelum kiriman berikutnya datang. Kiriman bisa datang tepat waktu, bisa juga lebih lama dari yang diharapkan. Walau begitu, kami tak pernah menelepon atau mengirim surat untuk meminta uang bulanan. Mengingat kedisiplinan ibu dalam mengelola keuangan keluarga, kami tahu beliau tak akan pernah lupa pada anak-anaknya yang jauh di mata. Cuma satu alasan kenapa kiriman uang belum sampai: ayah ibu memang belum punya uangnya. Di saat-saat seperti itu, uang tabungan menjadi andalan, walau kadang tak cukup juga.
Meski begitu, ada cerita tak terlupakan ketika celengan receh menjadi malaikat penolong bagi adikku, Fakhruddin Rudi . Di pagi hari tanggal 26 Desember 2004, ia yang waktu itu masih menjadi mahasiswa, sedang menikmati sarapan di warung dekat rumah kosnya. Tiba-tiba gempa mengguncang. Lantai bergoyang bagai ayunan. Sontak ia dan semua orang lari berhamburan keluar.
Sebagian mereka berjatuhan. Tak mampu menahan tanah yang bergetar, bagai seekor naga sedang mengibas-ngibaskan ekornya dengan marah di kedalaman sana. Tak pula gempa itu berhenti dengan cepat, sebagaimana yang pernah dialami sebelum-sebelumnya. Perlu waktu 10 menit dalam ketakutan, pasrah, dan takbir yang bergema memenuhi udara, sampai bumi berhenti menggeliat.
Adikku terperangah melihat sekelilingnya. Gempa itu telah merubuhkan warung tempat tadi ia makan, menjatuhkan tiang listrik, membuat ambruk dan rusak bangunan lain di sekitarnya. Gemetar tubuhnya. Belum pernah ia mengalami gempa sedahsyat itu seumur hidupnya.
Tak cukup sampai di situ, tsunami yang tak kan terlupa sepanjang sejarah pun kemudian menerjang pantai Banda Aceh. Dalam hitungan menit merangsek masuk kota dengan kecepatan dan ketinggian yang menakutkan. Menggulung dan menyeret apa saja yang didepannya, termasuk kapal PLTD Apung seberat 2600 ton, yang merupakan generator listrik milik PLN.
Maka adikku hanyut dalam gelombang orang-orang yang berlari menyelamatkan diri. Lelah dan luka di badan tiada terasa. Hanya satu tekad membaja dalam dada, lari sejauh mungkin dari air hitam yang mengejar di belakang. Hingga ia akhirnya tiba di tempat aman. Sebuah masjid yang berkilo-kilo meter jauhnya dari rumah kos.
Keesokan harinya, ia memutuskan untuk kembali ke rumah kosnya. Menyusuri jalan dengan kaki telanjang, baru ia sadari betapa jauh kakinya telah berlari kemarin. Kali ini, ia berusaha menumpang pada setiap kendaraan yang searah dengan tujuannya, seberapa pendek pun jarak yang bisa terbantu, hingga ia bisa tiba kembali ke rumah kosnya.
Hatinya tercekat memandang sampah menggunung yang ditinggalkan si air hitam. Susah payah ia lalui untuk bisa sampai ke rumah kosnya yang nyaris ambruk. Pintu depan terlepas, menampakkan genangan air, sampah, dan bangkai seekor sapi di ruang tamu. Dengan hati-hati agar tak menginjak benda tajam dan berbahaya, ia langkahkan kaki masuk ke rumah yang kini nyaris tak berbentuk.
Kamarnya terletak di lantai dua. Tangga kayu sudah patah di beberapa bagian. Tapi ia bertekad untuk naik. Barangkali ia bisa menemukan dompetnya di atas. Perutnya keroncongan. Terselip rasa bersalah di hatinya, mengingat kemarin belum sempat membayar sarapannya di warung sebelah. Semoga mereka baik-baik saja, doanya untuk pemilik warung.
Dengan susah payah menaiki tangga, sampai juga ia ke atas. Kamarnya bagai kapal pecah. Nyaris tak ada benda yang bisa ia selamatkan. Dompetnya entah dimana. Tak ketemu setelah ia mencari beberapa lama. Nyaris putus asa, ia jatuh terduduk di lantai. Di situlah ia melihat botol air mineral kemasan 1 Liter yang terguling ke pojokan kamar. Hatinya bersorak! Itu celengannya yang sudah hampir penuh. Segera diraihnya botol itu. Diguncang-guncangnya dengan gembira. Koin 500 dan 1000 rupiah didalamnya berdenting dengan merdu. Celengannya selamat! Ia selamat!
Dengan uang celengan itulah adikku bertahan di hari-hari awal bencana tsunami. Ia gunakan untuk membeli makan dan kebutuhan dasar, sambil berkeliling dari satu tempat pengungsian ke tempat yang lain. Mencari abang, kakak, ponakan, adik, sepupu, kerabat dan sahabat. Sebagian selamat, sebagian tak lagi pernah terlihat.
Maka dengan penuh kerendahan hati, kami mohonkan hadiah shalawat, alfatihah dan doa dari teman-teman sekalian, untuk mereka yang berpulang pada dan karena hari itu. Semoga mereka semua diterima dengan kasih sayang oleh Tuhan seru sekalian alam, bahagia bersama di masa penantian, beroleh surga idaman sebagai syuhada.
Kenang, kenanglah hari itu. Jangan, jangan lupakan hari itu. Banyak orang-orang tercinta yang berpulang. Banyak pelajaran bagi yang tertinggal. Semoga hanya terjadi sekali itu saja. Amin.
Jakarta, 26 Desember 2021