Kemarin aku menonton Yuni, film yang telah meraih berbagai penghargaan di dalam dan luar negri, termasuk Piala Citra untuk Pemeran Utama Perempuan terbaik dan Platform Prize dari Toronto International Film Festival (TIFF). Sepanjang film, berbagai persoalan yang dihadapi perempuan, dipaparkan tak henti-henti.
Pernikahan dini, ketika masing-masing tak mengerti hak dan kewajiban yang melekat. Pelecehan seksual yang menyebabkan kehamilan, tanpa ada pembelaan. Keharusan istri untuk manut dan nurut saja, tanpa boleh bersuara. Kekerasan pada istri yang dianggap tak mampu memberikan anak, pernikahan tanpa persetujuan pengantin perempuan, nasib mengenaskan TKW yang tak berani mengakui kegagalannya pada keluarga dan orang kampung. Itulah beberapa yang kuingat malam ini.
Semua persoalan itu diangkat, tanpa mengganggu fokus pada persoalan yang dihadapi Yuni sebagai tokoh utama, siswa kelas 3 SMA yang tinggal di pemukiman padat dekat pabrik. Kebimbangan antara ingin kuliah atau menikah.
Buat apa kuliah tinggi-tinggi, kata tetangga, mau jadi apa? Yuni pun tak tahu, mau jadi apa setelah kuliah. Ia hanya tahu, ingin mengejar nasib yang lebih baik. Bertanya pada orang tua pun tak membantu. Walau kasih sayang untuknya melimpah, ayah ibunya tak mampu memberikan arahan, karena terbatasnya pendidikan dan pengetahuan.
Mau menikah? Kehidupan seperti apa yang hendak dijalani? Untuk ditinggalkan suami setelah punya bayi seperti sahabatnya, Titik? Atau untuk dipukuli karena selalu keguguran sehingga membuat malu suami, seperti Suci? Atau untuk dimadu seperti istri Mang Dodi? Atau sekadar membahagiakan calon ibu mertua seperti permintaan Pak Damar, dengan mengorbankan kebahagiaan Yuni sendiri?
Menonton film ini, mengingatkan aku pada begitu banyaknya persoalan perempuan di negri ini. Sampai akhir film, tak ada solusi jelas yang ditawarkan oleh penulis naskah. Mungkin ini menggambarkan bahwa solusi jelas pun belum ada di dunia nyata.
Meski begitu, semoga Hari Ibu kali ini menggugah kesadaran kita untuk semakin menghormati perempuan. Sebagaimana laki-laki, perempuan punya keinginannya sendiri, yang tak mesti tunduk pada keinginan laki-laki atau lingkungan sosial. Sebagaimana laki-laki, perempuan punya potensi dan kemampuan luar biasa untuk berdaya, berkarya, dan bersuara, baik di lingkup domestik mau pun publik. Sebagaimana laki-laki, perempuan adalah manusia merdeka yang dibekali akal, rasa dan karsa.
Semoga esok, negri ini semakin ramah pada perempuan. Jalan memang masih panjang dan terasa jauh, tapi mari mulai dari diri sendiri. Dengan saling mendukung dan menguatkan, terutama pada sesama perempuan.
Ingatkan, bila aku lupa.
Selamat Hari Ibu,
Selamat Hari Perempuan,
Indonesiaku!