“Ma, boleh kan, kalau aku lebih sering curhat sama teman daripada sama Mama?”
Mendengar pertanyaan Zahra itu, kukatupkan bibir menahan jeritan hati yang ingin keluar, ‘Jangaaan, Nak. Jangan jadikan aku orang ke sekian. Slalu jadikan aku orang nomor satu untuk curhat. Aku ingin tahu semua tentangmu. Ingin bisa memberi saran dan nasehat yang pas untukmu. Temanmu sama kecilnya denganmu. Mereka tak tahu apa yang terbaik bagimu.’
Namun yang keluar dari mulutku dengan nada yang dikalem-kalemkan adalah, “Boleh, Kak, kalau memang lebih asyik curhat sama teman. Tapi pilih-pilih temannya ya. Curhat sama teman yang baik aja, yang bisa dipercaya, yang nggak akan nyebarin curhatnya Kakak kemana-mana.”
Putriku tersenyum. Duh, kenapa pula dia terpikir untuk minta izin hal begini pada ibunya ya?
“Tapi, untuk hal-hal yang penting banget, misal, yang bikin Kakak sedih banget, bingung banget, rahasia banget, tetap curhat sama Mama ya…,” pintaku bersungguh-sungguh, walau dalam hati agak susah juga aku membuat klasifikasi yang kusebutkan itu.
Zahra menggangguk samar. Mungkin dia juga sedang berusaha mencerna yang kukatakan. Kubiarkan saja. Berbalik badan, aku kembali ke layar laptop.
Tetapi pikiranku sesungguhnya belum bisa berpaling. Putriku sudah memasuki masa remajanya. Betapa ingin aku selalu mengenalnya. Jadi yang paling tahu apa yang ia inginkan sebelum ia mengatakannya. Tahu apa yang membuatnya nyaman. Tahu apa yang menggelisahkannya. Menjadi tumpuan hatinya. Menjadi tempatnya pulang selalu, bagaimana pun keadaannya.
Tapi aku tahu, seorang anak tidak hanya perlu ibunya, ia juga perlu teman-temannya. Yang mengerti dunianya, film-film yang ditontonnya, tokoh anime yang digandrunginya, gim yang dimainkannya, atau nanti, cowok yang ditaksirnya? Sementara ibunya, datang dari masa berjarak puluhan tahun darinya.
‘Ah, jangan khawatir,’ bisik hatiku menenangkan. ‘Hati putrimu cukup luas untuk menampung teman-temannya, sambil tetap menjaga tempat yang istimewa untuk ayah ibunya.’ Semoga.