Laki-lakinya Mana?

Laki-lakinya kemana? begitu komentar seorang laki-laki menanggapi informasi di sebuah status FB tentang seorang perempuan yang berhasil menjadi ketua suatu organisasi, yang biasanya diduduki oleh laki-laki. Komentar yang dibaca oleh mbak Sendang Wangi dan serta merta membuatnya gemas.

Saya pun ikut gemas membaca cerita yang dituliskan Mbak Sendang tersebut. Kalau saya ikut membaca komentar tersebut secara langsung, mungkin saya akan menjawab bahwa laki-lakinya ada di situ juga untuk mendukung si ketua (perempuan) mencapai tujuan organisasi.

Saya jadi membandingkan komentar ini dengan respon yang diberikan oleh Buya Syafi’i Ma’arif lebih dari dua puluh tahun yang lalu ketika saya masih menjadi mahasiswa. Waktu itu saya menjadi Ketua Umum Panitia Ramadhan Masjid Agung Syuhada, masjid yang (waktu itu) menjadi pusat kegiatan keislaman di Yogyakarta. Sebelumnya amanah ketua umum tersebut selalu diemban oleh laki-laki, paling tidak selama saya bertahun-tahun menjadi panitia di masjid yang saya cintai itu.

Sebagai ketua umum, saya tentu menjadi yang paling bertanggung jawab atas seluruh kegiatan yang diselenggarakan selama sebulan penuh oleh lebih dari 100 orang panitia itu. Seperti sholat tarawih dan ceramah, penyediaan ta’jil untuk ratusan jama’ah, seminar nasional, berbagai kajian dan kursus, dan masih banyak lagi. Kemana laki-lakinya? Ya ada di situ, bahu membahu melaksanakan semua amanah kepanitiaan sesuai tugas masing-masing, tanpa satu pun mempermasalahkan keperempuanan saya. Tak juga ada permasalahan dari para pengurus Yayasan Masjid yang sebagian besarnya adalah para ustad yang berilmu.

Suatu hari dalam masa-masa persiapan kegiatan, seorang teman yang bertugas sebagai panitia seksi ceramah pulang membawa cerita. Ia baru saja menemui Buya Syafi’i Ma’arif di kediamannya untuk mengantarkan surat permohonan ceramah. Sebagai seorang cendekiawan muslim terpandang dan ketua Umum PP Muhammadiyah, kami selalu mengundang beliau untuk menjadi penceramah tarawih pertama. Melihat nama dan tanda tangan saya yang tertera di surat, beliau bertanya, “Ketuanya perempuan sekarang?”

Teman saya mengiyakan.

Dan Buya mengangguk-angguk sambil tersenyum.

Di situ saya merasa mendapatkan dukungan, lagi.

Dukungan untuk melakukan yang saya bisa. Dukungan untuk melakukan yang saya belum bisa, namun mau saya pelajari. Karena seperti laki-laki, saya juga dibekali kecerdasan dan potensi oleh Pemberi Kehidupan. Demikian pula dengan semua perempuan. Jadi tolong jangan dilumpuhkan, dengan berbagai ego dan ketakutan.

Maka tiap kali melihat mereka yang menentang perempuan berkiprah di luar rumahnya, saya akan mengingat respon Buya Syafi’i Ma’arif ini. Saya akan mengingat juga para ulama besar Aceh yang di abad ke-17 merestui Cut Safiatuddin menjadi Sultanah, sehingga dalam 35 tahun pemerintahannya berhasil membawa Kerajaan Aceh pada salah satu masa keemasannya. Saya juga akan mengingat Ratu Bilqis yang digambarkan Alqur’an sebagai pemimpin yang demokratis, ahli strategi, pandai berdiplomasi dan bijaksana, yang menjadikan negri Shaba makmur Sentosa. Saya akan mengingat contoh-contoh lain yang sungguh banyak.

Sebagai orang awam saya boleh memilih. Saya memilih mengikuti ajaran para guru dan ulama yang mendorong perempuan memaksimalkan potensinya, untuk bersama laki-laki memberi maslahat sebanyak-banyaknya pada orang lain, dan bersama-sama berusaha mencapai derajat taqwa. Dengan cara yang perempuan pilih sendiri.

Catt. Gambar dari Tirto.id: Sultanah Cut Safiatuddin

0 Shares:
32 comments
  1. hehehe nggemesin ya celetukannya. lebih nggemesin lagi jawabanmu, “laki2nya ya di sana, bantuin juga.”
    lah iya. yang perlu dipertanyakan ya yang bertanya, dia di mana? kok bukan dia aja yang jadi ketua kalau ngerasa laki2 lebih berkompeten? bukan bagian dari organisasi? ya udah diem aja. hahaha…

    1. iyaaa. Kalau pertanyaanya berkaitan dengan kompetensi, mungkin saya nggak gemes. Tapi ini tentang jenis kelamin, yang tinggal terima dari sananya.

  2. Mbak, aku baca dan orang yang komentar laki-lakinya kemana pengen takhiiihh! Hahaha, aku setuju banget kalau seorang perempuan harus memaksimalkan kemampuannya. Kayak gitu harusnya bapak-bapak jangan baper, saling dukung malah

  3. Bener banget kebanyakn orang sering meremehkan kemampuan perempuan dalam memimpin organisasi ya padahal kesempatan itu sama baik buat laki2 maupun perempuan

  4. Salam kenal mbak intan, saya baru pertama ini sepertinya berkunjung di blog Mbak Intan ini.

    Tulisanya bikin semangat bagi saya khususnya seorang perempuan. Tidak berhenti berkarya dan terus mengasah potensi yang dimiliki.

    1. Salam kenal, Mbak Julia, terima kasih sudah berkenan berkunjung ya… Tulisan mbak Julia juga menginspirasi. semoga kita bsia saling mendukung ya…

  5. Sebenarnya tergantung kompetensi kalau menurut saya. Perempuan kadang bisa lebih ahli dibandingkan laki-laki. Why not? Bener engga Mba Intan?

  6. Wah tipe-tipe patriarki ya yang ngomong. Emang kenapa gitu ya kalau perempuan jadi pemimpin? Selama punya kapabilitas dan inetgritas yang baik ya nggak salah kalau perempuan yang dipilih..

  7. memang sampai sekarang budaya patriarki itu masih melekat ya di mana-mana di mana laki-laki harusnya yang jadi pemimpin. padahal di berbagai belahan dunia banyak pemimpin wanita yang juga sukses dalam kepemimpinannya

  8. ah iya, masih banyak yg seperti itu ya mbak
    padahal laki laki dan perempuan sejatinya punya potensi masing-masing

  9. Semoga perempuan juga bisa berkontribusi dan produktif sesuai dengan bidang dan ranahnya juga sesuai dengan fitrah kewanitaannya.
    Tidak berlebihan dan tidak dibatasi oleh gender, asalkan sesuai syariat.

  10. Di kntor sya 99 persen laki laki, namun kapasitas mereka tidak mumpuni semua sih menurut saya. Dan itu sering membuat saya gerah sendiri. Akhirnya perusahaan jd sulit berkembang

  11. Suka gemes sih sama orang yang masih meremehkan kemampuan para wanita, padahal bener apa kata mbak, wanita juga berhak memaksimalkan potensinya ya. Toh kita juga insyaallah tau porsi masing masing kok..

  12. Tapi iya sih masih banyak yang belum yakin dengan kemampuan kaum perempuan untuk menjadi pemimpin atau paling tidak memiliki tanggung jawab lebih. Padahal banyak kok kaum perempuan yang memiliki kompetensi tidak kalah dengan laki-laki.

  13. Hehehe pernah juga nih ngalamin yang begini mba. Laki2nya mana?
    aaah tulisannya sudah mewakili apa yang ada di dalam pikiran dan hatiku mba <3

  14. Mbak Intan keren banget… Menurutku, perempuan atau laki-laki, asalkan berkompeten, sah-sah aja menjadi pemimpin. Dari zaman dulu pun sudah banyak pejuang-pejuang wanita yang kiprahnya ngga main-main. Jadi kalau masih seksis, malah jadi kemunduran ngga sih?

    1. Setujuuu, Arinta. Sedihnya, seksis sekarang itu banyak didasarkan pada tafsir agama sepihak. Padahal ada lho tafsir yang mengizinkan perempuan berkiprah luas di masyarakat.

  15. Padahal dalam banyak keluarga, banyak juga laki-laki yang kehilangan perannya. Merasa superior, mau ini itu tinggal perintah istri dan anak-anaknya, kalau ada masalah kabur, jadi anak dan istrinya menghadapi masalah itu sendirian.Banyak loh yang begini. Jadi jangan heran, kalau perempuan memang punya kemampuan memimpin karena.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Turun Mesin

Turun mesin. Sudah beberapa kali saya mendengar istilah ini ditujukan pada perempuan yang melahirkan, dan saya tidak nyaman…