She is waiting for her mom coming, in the day care.
Begitu kata Zahra, ketika kutanya ini gambar apa.
Terus terang ini membuat saya berpikir, apakah anak saya (dulu) sedih setiap kali saya tinggal bekerja ke kantor? Tetapi saya menghibur diri, bahwa ia baik-baik saja, sehat-sehat saja, tumbuh dengan belajar mengoptimalkan potensi dirinya, dan hubungan saya dengannya selalu dekat. Paling tidak, itu yang saya rasakan.
Saya memang tidak bisa menemaninya selama 24 jam sehari sejak usianya 4 bulan, karena harus kembali bekerja. Untuk itu, jauh-jauh hari saya sudah membisikkan ke telinganya, setiap kali menyusuinya, bahwa pada tanggal A bulan B saya akan mulai lagi ke kantor setiap hari, tetapi insya Allah selalu kembali padanya, pada jam yang kurang lebih sama. Saya akan mengabari ke rumah, bila karena sesuatu hal saya terlambat pulang.
Entahlah, apakah karena bisikan yang rutin itu, atau karena kekuatan hati saya (orang bilang, bila hati ibu tenang, hati anak juga tenang), tidak banyak drama ketika saya saya mulai berangkat ke kantor lagi. Saya pamit padanya di pagi hari, ia menangis namun kata pengasuhnya hanya sebentar, segera ceria kembali. Tentu kami juga beruntung mendapatkan pengasuh yang baik.
Bayi Zahra tetap anteng di rumah. Ia minum ASI perah dari botol yang steril dan tetap mau menyusu langsung ketika saya pulang. Ketika usianya 6 bulan, saya meninggalkan makanan beku di kulkas yang sudah saya siapkan pada malam sebelumnya atau di pagi hari. Tentu yang sederhana saja. Puree buah, puree sayur, atau makanan bayi lainnya yang sebisa mungkin non-pabrikan.
Pengasuhnya akan membawa Zahra ke ruang depan, menjelang saat-saat saya akan tiba di rumah. Ketika ia sudah bisa berdiri, ia akan berdiri di depan jendela, dan bersorak ketika wajah saya muncul di halaman rumah. Saya bisa melihat tawa riangnya dari balik kaca jendela. Satu kata sambutannya, yang selalu diucapkan dengan riang adalah: Mimik! Yang artinya dia minta menyusu. Saya yakin bukan sekadar karena lapar, tapi menuntaskan rindu pada pelukan saya. Saya boleh GR kan? Saya pun merindukannya.
Pernah suatu kali, saya begitu sibuk di kantor sampai tak sempat menelepon ke rumah mengabarkan akan terlambat. Bahkan tak bisa menelepon dalam bus Transjakarta yang begitu padat hingga menggerakkan tangan pun susah. Saya baru sempat menelepon ketika sudah duduk nyaman di dalam angkot menuju rumah. Penuh rasa bersalah. Waktu itu Zahra sudah cukup besar untuk berbicara di telepon. Mungkin usianya 4 atau 5 tahun. Dia berkata, “Aku tadi bikin gambar untuk Mama. Tapi karena mama belum pulang, gambarnya aku kasih untuk mbak.”
Saya sedih sekali. Terdiam di ujung telepon. Mungkinkah ia menangkap kesedihan itu? Dia lalu melanjutkan, “Tapi Mama udah nelpon. Nanti aku bikinkan gambar yang baru untuk Mama, ya.”
Saya sungguh terharu. Dari situ saya belajar, saya harus berusaha memegang janji dan komitmen pada putri saya. Saya harus mengabarinya bila sesuatu menghalangi saya. Dengan itu, dia akan mempercayai saya. Rela melepas saya pergi, karena saya akan selalu kembali, membawa cinta sepenuh hati.
Note. Gambar oleh Nouruzzahra