Ini sepenggal kisah seorang ayah, yang mencintai keempat anaknya sepenuh hati. Bagai hatinya terbelah empat sama besar. Masing-masing anak mendapatkan satu bagian yang sama.
Cinta itu terbaca pada setiap tindakan kesehariannya. Ayah selalu membagi apa pun dengan adil. Ketika keuangannya mulai membaik, ayah mampu membelikan majalah untuk anak-anaknya setiap minggu. Tentu saja hanya satu eksemplar, sehingga untuk pertama kalinya terjadilah saling rebut di antara anak-anaknya. Semua ingin mendapat giliran pertama untuk membaca. Maka ayah mengatur giliran dengan adil. Minggu ini Si Sulung mendapat giliran pertama. Minggu depan Si Nomor Dua, minggu berikutnya Si Nomor Tiga, Lalu Si Bungsu. Dan kembali lagi ke Si Sulung pada minggu berikutnya. Begitu seterusnya. Keempat anaknya menjadi tenang dengan aturan yang jelas itu.
Begitu pula ketika ayah mampu membeli pemutar musik, tentu hanya satu. Namun suaranya akan terdengar ke seluruh bagian rumah mereka yang kecil. Kali ini, sebelum pertikaian terjadi, ayah membuat jadual harian pemutaran musik dengan tulisannya yang rapi. Nama ayah juga ada di dalam jadual, karena ia juga menyukai musik. Kertas jadual itu ditempelkannya di dinding, dekat dengan pemutar musik sehingga pasti terlihat oleh siapa pun yang ingin memutar musik. Tanpa bantahan, keempat anaknya menunggu giliran masing-masing untuk memutar lagu kesukaan, dan bersabar mendengarkan lagu kesukaan saudaranya di hari lain.
Ayah juga membantu keempat anaknya dengan pelajaran sekolah masing-masing. Ia membantu memberi pemahaman bila anak-anaknya kesulitan dalam mengerjakan PR. Ia mengajarkan mereka pelajaran bahkan sering sebelum guru mengajarkannya di sekolah. Tak heran bila keempat anaknya sering menjadi juara di kelas masing-masing.
Ia tak membedakan kesempatan mengejar pendidikan tinggi bagi kedua anak laki-laki dan kedua anak perempuannya. Keempatnya mendapat kesempatan yang sama untuk mengejar cita-cita, walau harus meninggalkan rumah mereka jauh sekali. Bersama istrinya, ia menahan rindu ketika satu demi satu anaknya pergi jauh dan jarang pulang untuk menghemat biaya. Hingga menyisakan mereka berdua saja yang tertinggal di rumah.
Dialah ayahku, yang mengajarkan perempuan sama tingginya dengan laki-laki. Yang memuji nasi goreng buatanku tapi tak menganggap memasak sebagai kewajiban perempuan. Yang membiarkan semua anaknya mengeluarkan pendapat dalam diskusi di meja makan. Yang mengizinkan aku memilih perkuliahan yang cukup keras bagi perempuan secara fisik, dan menguatkan aku untuk tak menyerah ketika aku ingin mundur karena merasa lelah.
Dialah ayahku, yang menamakan kedua anak laki-lakinya Azanuddin dan Fakhruddin, yang memanggilku Intan dan adik perempuanku Ratna. Yang memberi kami tempat yang sama istimewa di hatinya, yang selalu berlaku adil pada kami berempat.
Dialah ayahku, yang hari ini berulang tahun.
Selamat ulang tahun, Papa. Andai Papa masih di sini, Papa akan berusia 79 hari ini. Kami syukuri setiap hari yang kami lalui bersama Papa. Papa akan selalu ada di hati kami. Semoga Papa bahagia di sana, ditemani malaikat yang baik hati dan amal-amal baikmu. Sampai kita berjumpa lagi, ya Pa.
Shalawat dan alfatihah untuk Papa tersayang…
Jakarta, 17 September 2021