Simbah itu datang lagi. Ini sudah yang ketiga kali. Tapi seperti hari sebelumnya, ia sudah terlambat. Seluruh paket canthelan telah habis terbagi.
Dipandanginya paku-paku chantelan yang telah kosong. Kutangkap rasa kecewa di wajahnya. Sempat matanya bersirobok denganku. Diulasnya senyum tipis, lalu ia berbalik, melangkah pergi meninggalkan lokasi papan chantelan.
Kutatap punggung kurusnya yang berbalut kebaya dan kain jarik. Kecewanya menular padaku. Membulatkan tekad dalam hatiku, besok ia harus kebagian.
Memang sudah beberapa minggu ini aku dan beberapa teman menchantelkan paket bahan makanan di depan rumah. Niatnya sederhana, membantu mereka yang membutuhkan. Covid-19 yang membelit negri telah membuat banyak orang kehilangan penghasilan. Walau sedikit, kami ingin berbagi rezeki yang masih ada.
Setiap paket chantelan berisi bahan makanan untuk sehari, yang sekiranya cukup untuk satu keluarga beranggotakan empat sampai lima orang. Misalnya beras setengah kilo, sayuran, tempe atau lauk yang lain, bumbu, minyak goreng. Seadanya. Alhamdulillah, walau mulanya malu, akhirnya orang-orang yang lewat mulai mengambil juga. Bahkan sampai ada yang tidak kebagian. Seperti simbah putri berkain jarik itu.
**
Esoknya, bersama seorang teman yang mengenal simbah, aku sowan ke rumahnya yang sederhana. Jelas terlihat kalau hidupnya pas-pasan. Tenang, Simbah, tak kan kami biarkan hari ini engkau kecewa, kataku dalam hati.
“Mbah, ini untuk Mbah ya…,” kataku sambil menyodorkan tas plastik berisi bahan makanan yang telah kami persiapkan untuknya. Hatiku gembira melihat matanya yang berbinar dan senyum lebarnya. Seperti tak sabar, segera dibukanya kantong plastik itu. “Ooh, isinya begini, tho” gumamnya ketika melihat isinya.
Aku mengernyitkan kening. Heran melihat sikapnya.
“Makasih ya Mas. Saya dari kemarin-kemarin ingin tahu isinya apa. Mau ikutan ngisi, tapi malu kalau ndak pantes.”
“Maksudnya gimana, Mbah?” tanyaku penasaran.
“Ya, kalau isinya mi instan atau yang mahal-mahal gitu, saya ndak sanggup nyumbang. Tapi kalau begini, insya Allah saya bisa. Kemarin saya panen pisang empat tandan. Satu tandan saya ambil untuk saya, yang tiga tandan, boleh untuk nyumbang chantelan, Mas?”
Aku ternganga.
“Boleh, Mbah,” temanku membantu menjawab.
Simbah tersenyum lebar. Gigi ompongnya makin jelas terlihat. “Saya ada kebun kecil, isinya ndak banyak. Tapi ada kangkung, selada, sawi. Dan lain-lain. Nanti tiap panen, saya antar ke rumah Mas-e ya, untuk nambah-nambah isi chantelan.”
Lagi-lagi aku tak bisa menjawab. Pipiku terasa panas. Hatiku mengembang karena haru. Sungguh tak kusangka, alih-alih meminta sumbangan, ternyata simbah justru ingin memberi yang ia punya. Padahal hidupnya juga tak berlebih.
Begitulah. Simbah telah bersungguh-sungguh. Sampai saat cerita ini kusampaikan, ia telah menjadi salah satu penyokong utama kegiatan chantelan kami. Bukan hanya dengan hasil panennya, tapi juga dengan semangat dan ketulusannya. Ia telah membesarkan hati dan menambah semangat kami, untuk selalu berbagi pada sesama, tanpa menunggu kaya.
(Seperti yang diceritakan oleh Pak Lejaryono di https://youtu.be/jPBciIJs62s)
Jakarta, 11 Juli 2021