Bu Karsih membuka-buka buku anaknya. Setiap lembar dilihatnya penuh dengan gambar. Kadang memenuhi seluruh halaman, kadang hanya di pinggiran, kadang di sela-sela catatan. “Woo, anak ini, buku catatan malah dicoret-coret,” omelnya dalam hati. “Pantesan udah minta beli buku lagi.”
Namun yang paling membuatnya kecewa adalah buku latihan matematika. Banyak soal yang tidak dijawab oleh anaknya. Kalaupun dijawab, salah. Bu Karsih tahu dari adanya tanda silang di samping jawaban itu. Tak heran, nilai lima puluh dan enam puluh yang ditorehkan oleh guru kelasnya. Hanya sekali-kali saja Bu Karsih menemukan angka tujuh puluh.
Bu Yayah, wali kelas anaknya di kelas empat, sudah membicarakan hal tersebut ketika Bu Karsih mengambil raport sebulan yang lalu. “Sudah sering saya mengingatkan anak ibu supaya memperhatikan guru ketika mengajar. Sedang belajar matematika, dia malah menggambar. Tapi tetap juga dikerjakannya,” kata beliau waktu itu. “Sudah pening saya, habis cara menasehatinya.”
“Sriiiii,” panggil Bu Karsih. Ini tidak bisa dibiarkan. Ia harus bersikap tegas. Apalagi, matematika adalah pelajaran yang sangat penting, walau Bu Karsih juga tidak menyukainya ketika ia sekolah dulu.
“Sri kan tadi pamit ke Masjid Al-Hidayah Bu,” kata anak sulungnya Eko, yang melongok dari pintu dapur.
“Eko, mbok kamu itu ngajarin adikmu, lho. Ini adikmu matematikanya jelek terus. Apa ndak kasihan.”
“Lha, Sri-nya aja ndak merasa susah, kok Bu,” jawab Eko santai. Anak tanggung itu kembali masuk dapur. Ia lapar, ingin masak mi instan.
“Woo, punya anak pintar kok ndak ngopeni adiknya,” ujar Bu Karsih gemas. Dirapikannya kembali buku-buku Sri ke dalam rak yang menempel di dinding. Tiba-tiba sebuah ide melintas di pikirannya. Kenapa tak minta tolong Mbak Meutia dan Mbak Ririn saja? Dua gadis dari Asrama Putri Fatimah itu selalu datang setiap Rabu Sore ke Masjid Al-Hidayah, mengajari anak-anak sekitar sini mengaji dan pelajaran sekolah. “Biar Sri dibantu matematikanya,” pikir Bu Karsih semangat.
Maka Bu Karsih bergegas pamit pada Eko, mengenakan sandalnya dan segera melangkah menuju masjid Al-Hidayah yang tak seberapa jauh dari rumahnya. Ketika sampai di sana, dilihatnya sebagian anak-anak sudah keluar dari masjid. Kelihatannya jam belajar sudah selesai. Tapi Sri belum terlihat, apalagi Mbak Meutia dan Mbak Ririn. Sungkan mengganggu, Bu Karsih memutuskan menunggu di teras masjid.
“Mau jemput, Sri, Bu?” tiba-tiba didengarnya sapaan. Rupanya Menik, anak tetangganya.
“Eh, mau ketemu Mbak Meutia, masih ada Nik? Apa udah pulang?”
“Masih, aku panggilkan, ya.” Menik berbalik masuk ke dalam masjid lagi. Tak lama kemudian, ia keluar lagi bersama Meutia. Bu Karsih tersenyum. Ia baru sekali bertemu, ketika Meutia melayat almarhumah ibunya Menik beberapa bulan yang lalu.
“Bu Karsih?” sapa Meutia. Ia belum hapal dengan ibunya Sri. “Saya Meutia, Bu,” lanjutnya setelah melihat anggukan Bu Karsih. “Wah, Ibu sudah sampai ke sini saja. Siapa yang kasih tahu, Bu?”
“Eh, kasih tahu apa, Mbak?” tanya Bu Karsih heran.
Sebelum Meutia sempat menjawab, Sri sudah berlari keluar dari Masjid dan menubruk ibunya. “Bu, gambarku masuk majalah! Lihat, bagus kan?”
Sri melepaskan pelukannya, lalu mengangsurkan sebuah majalah anak-anak yang sering dilihat Bu Karsih di rumah Bu Broto, tempatnya bekerja setiap hari. Mata Bu Karsih menangkap sebuah sebuah gambar yang lucu sekali, seekor ayah beruang yang sedang berpelukan dengan anaknya, dalam ruang yang penuh dengan foto keluarga. Menurut Bu Karsih, gambar itu bagus sekali.
“Ini kamu yang buat?” tanya Bu Karsih tak percaya. “Kamu kan ndak punya pensil warnanya?”
“Dipinjamin Mbak Meutia, katanya aku pinter gambar,” jawab Sri bangga.
“Iya, maaf Bu Karsih. Saya ngga minta izin dulu waktu ngirim gambarnya Sri ke majalah. Alhamdulillah ternyata dimuat.” Meutia menjelaskan dengan nada sungkan. “Sri pintar sekali menggambarnya, Bu. Ini saya mau minta izin agar Sri boleh ikut lomba menggambar bulan depan di Masjid Agung Arrahman. Insya Allah Sri pasti senang, Bu.”
“Boleh, Bu?” Sri menatap ibunya penuh harap.
Bu Karsih balas menatap Sri. Tentu saja ia mengizinkan. Ia hanya sedang berpikir, apakah ia masih perlu mengeluhkan nilai matematika anaknya pada Mbak Meutia?
Note: Gambar oleh Nouruzzahra
Jakarta, 29 Juni 2021