Pagi ini mbak asisten kembali dari mudik. Ditanya apakah sudah tes covid antigen (yang jadi syarat perjalanan), jawabnya, belum. Diajak tes antigen di sini, ia menolak dengan wajah memelas. “Saya takut kalau hidung ditusuk-tusuk lagi, Bu.”
Pengalaman tes PCR pada Desember tahun lalu rupanya masih sangat membekas. Perih, katanya. Nggak mau lagi. “Tes yang di ujung jari saja, Bu? Kalau itu saya berani,” tawarnya. Tapi kok ya saya yang sekarang kurang puas dengan Rapid Test yang demikian.
“Kalau tiup-tiup aja, mau Mbak?”
“Kayak yang di stasiun-stasiun kereta itu, Bu?”
“Iya.”
“Mau, Bu.”
Lha ya, masak saya harus ke Stasiun Gambir dan beli tiket perjalanan demi bisa mendapatkan tes GeNose?
Alhamdulillah, begitu buka aplikasi HaloDoc, ternyata di situ sudah ada tiga pilihan untuk melakukan tes GeNose. Yang dua jaraknya cukup jauh dari rumah. Yang satu, bisa melakukan tes di rumah peserta (home care). Langsung saya pesan untuk kedatangan paling pagi yang tersedia, yaitu jam 11.00 WIB.
Ketika petugasnya datang, mbak asisten malah melipir menjauh. “Ayo, Mbak, sini. Kok masih takut? Katanya berani kalau cuma tiup-tiup.”
“Niupnya berani, Bu. Tapi takut hasilnya. Kalau positif, bagaimana?”
“Hahaha.. insya Allah bagus hasilnya. Kan ngga merasa sakit, tho? Di kampung juga ngga ngumpul-ngumpul kan?”
Akhirnya mbak Asisten memberanikan diri, menerima plastik pertama dan meniupkan napas ke dalamnya hingga plastik menggembung penuh, lalu menutup katupnya yang berwarna biru. Setengah jam kemudian, ia melakukan tiupan kedua dan ketiga. Jadi ada tiga sampel nafas yang dibawa ke lab oleh petugasnya.
Jam 14:43 hasilnya keluar. Alhamdulillah, negatif. Tentu dengan catatan bahwa hasil ini tidak berarti menyingkirkan kemungkinan tertular covid seratus persen. Namun, paling tidak, mbak asisten bisa lega dan tidur nyenyak malam ini. Saya juga, sekeluarga
. Akurasi hasil GeNose bisa mencapai 97%, katanya.

Terimakasih tim GeNose UGM. Terimakasih HaloDoc. Semoga covid segera berlalu.