“Angkat badannya Deek…! Kalau ngga sanggup ngangkat badan sendiri, gimana nanti kamu kuliah lapangaaaan…!”
Suara Mbak Senior terasa mencambuk harga diriku. Ya ampun, badan cuma seringan ini, masak ngga sanggup diangkat sih?
“Angkat Deeek… Angkaaaat!”
Benar-benar menyesal datang terlambat ke opspek Fakultas hari ini. Nggak tanggung-tanggung, telatnya sampai 2,5 jam! Tak heran, Mas senior yang pertama kali ‘menangkapku’, tak puas melihatku hanya dihukum lari keliling lapangan. Diserahkannya aku pada Mbak Senior ini, untuk mendapatkan hukuman yang lebih setimpal.
Ditanya, jurusan apa. Geologi, jawabku. Sudah lari? Sudah. Hayo lari di tempat. Kulakukan. Hayo sit-up. Kulakukan. Hayo push-up. Naaah, susah ini. Dari dulu sudah susah aku melakukannya. Mbak Senior sampai berteriak tak puas melihat caraku push-up. Makin dia teriak, makin aku bertanya-tentunya cuma dalam hati- memangnya seperti apa sih kuliah di Geologi itu? Kok kayaknya kekuatan fisik jadi hal yang penting banget?
Untunglah ia tak lama membiarkanku malu. Entah kasihan entah bosan, ia menyuruhku segera bergabung dengan teman-teman baruku. Mereka-para mahasiswa Fakultas Teknik UGM angkatan 1995-sudah berbaris lagi di tengah lapangan.
Aku tak melihat si Mbak Senior lagi sampai opspek selesai hari itu. Juga di hari-hari berikutnya. Juga di hari-hari awal perkuliahan, hingga kupikir aku telah melupakannya, sampai kemudian aku melihatnya lagi di antara para senior Magmagama, kelompok pecinta alam Teknik Geologi.
Malam itu, sebagai penyambutan kepada mahasiswa baru Teknik Geologi, Magmagama mengadakan pendakian bersama ke Gunung Merbabu. Tidak semua harus ikut. Mahasiswa yang mau saja. Tapi, siapa yang mau ketinggalan? Kukira, hampir semua teman seangkatanku ikut. Aku sendiri, penuh semangat. Ini pendakian pertama bagiku.
Kupandangi Mbak Senior yang mengayunkan langkahnya di depanku. Yang jadi perhatianku adalah ransel carrier yang melekat di punggungnya. Aku kenal carrier itu. Itu carrier yang di kampus tadi, baru bisa kugeser dengan susah payah. Berat sekali. Bagaimana si Mbak bisa membawanya seolah tanpa beban di punggungnya?
Selama pendakian, tak kulihat ia menitipkan carrier pada teman-teman cowoknya. Ia benar-benar membawanya sendiri sampai ke atas. Badannya tak pula tinggi besar, pikirku. Namun, memang terlihat kokoh dan kuat. Dalam hati aku bertanya-tanya, apa isi carriernya hingga bisa seberat itu?
Sebagian terjawab ketika kami beristirahat di padang sabana sebelum nanti naik ke puncak menjelang subuh. Ia membuka tas carriernya, mengeluarkan kompor gas mini dari dalamnya, sebotol kecil gas, panci, beberapa bungkus mie instan, beberapa mangkuk, dan air. Dimasaknya mie instan itu. Lalu ia bagi-bagikan pada kami, terutama para mahasiswi baru, juniornya yang sedang menggigil kedinginan.
“Makanlah, enak hangat-hangat,” senyumnya manis.
Memang enak. Rasanya, belum pernah ada mie instan sehangat ini. Atau, ini karena hatiku yang sarat oleh haru? Bawa carrier seberat itu ke Puncak Merbabu, hanya untuk mengasihi kami, para junior yang culun ini?
Itu sungguh malam tak terlupa.
Hari ini, ingin kuucapkan ‘Selamat Hari Ibu’, Mbak Senior, Mbak Yuka Nurtanti Cahyaningtyas . Terimakasih telah menjadi patron Geolog perempuan tangguh padaku, di hari-hari pertamaku menuntut ilmu. Geolog yang peduli. Yang penuh kasih.
Selamat Hari Ibu, perempuan Indonesia. Tetaplah berdaya, berkarya, dan mencinta.