Ketika Covid-19 muncul di Wuhan pada Desember 2019, aku merasa jaraknya begitu jauh. Yang kukhawatirkan, satu ponakan yang sedang kuliah di sana. Alhamdulillah, ia kemudian bisa dipulangkan oleh pemerintah pada Februari 2020, bersama 240-an WNI lainnya.
Ketika membaca pemerintah China mulai menerapkan lockdown, aku percaya virus itu akan berhenti menyebar. Sebagaimana kasus-kasus sebelumnya, seperti flu burung atau MERS.
Ketika virus itu kemudian mengenai dua orang warga di Depok, aku mulai sadar bahwa ia ternyata terus mendekat. Namun, kupikir ia tak kan tinggal lama di sini. Mungkin hanya sebulan. Mungkin 2 bulan. Persis seperti di China itu. Di bulan ketiga nanti, kita semua sudah bisa beraktivitas normal lagi.
Nyatanya tidak. Sudah 8 bulan, dan ia masih di sini. Semakin berbiak, semakin banyak. Menyebar kemana-mana. Mengenai siapa saja. Tadinya orang-orang yang tidak kukenal. Lalu kenalannya temanku, temannya temanku, saudaranya temanku. Bahkan, teman-temanku.
Alhamdulillah sebagian besar dari mereka bisa sembuh. Cukup dengan isolasi mandiri dan perawatan di rumah. Namun, ini memunculkan tanya bagiku, sudah seberapa dekat covid-19 ini denganku, dengan keluargaku?
Ternyata, begitu dekatnya. Tanpa kami sadari, ia sudah menyelinap masuk ke tubuh mama mertua dan adik ipar yang tinggal serumah. Menyamar dengan memunculkan gejala yang mirip dengan penyakit lain yang ‘biasa’, hingga kami lengah dan terkecoh olehnya.
Ketika kami sadar, ia sudah memberi bercak putih pada paru-paru keduanya. Menyebabkan mereka kesulitan bernapas. Membuat mama harus masuk ruang ICU isolasi di rumah sakit. Membuat adik harus dibantu ventilator, walau masih dirawat di ruang IGD. Ya, ICU sudah penuh. Mama sendiri tidak kebagian ventilator, terlepas dari apakah kami akan setuju bila beliau dipasangi alat bantu napas itu, mengingat risikonya yang juga tinggi.
Ketika perjuangan keduanya akhirnya dicukupkan oleh Allah, aku merasa kaki bagai menjejak awan. Berharap ini tidak nyata. Tetapi surat-surat yang disodorkan rumah sakit menyadarkanku. Ini bukan mimpi. Dan berbagai urusan masih harus diselesaikan. Terutama prosesi pengurusan jenazah, yang harus mengikuti protokol covid-19, walau hasil swab belum terkonfirmasi positif waktu itu.
Berat sekali. Tak seorang pun anak dan keluarga yang diperkenankan turut serta. Bahkan, melihat untuk yang terakhir kalinya pun, tak boleh. Apalagi memberi ciuman terakhir. Hanya peti mati berbungkus plastik, yang dapat kami peluk dan cium di ruang jenazah.

Hanya berjarak 3 hari, kami sholatkan mereka dalam sepi. Di ruang jenazah rumah sakit yang sempit. Tanpa sanak dan kerabat, tanpa sahabat-sahabat dekat, apalagi tetangga dan teman-teman. Meski begitu, semoga lantunan doa yang kami langitkan, diterima dan dikabulkanNya. Semoga Mama Mertua bahagia. Semoga Adik Ipar bahagia. Semoga kehidupan mereka yang baru, akan jauh lebih baik dari yang mereka tinggalkan.
Di TPU Khusus covid-19, kuedarkan pandang melihat sekitar. Sejauh mata memandang, hanya barisan nisan kayu yang kulihat, terpancang pada gundukan tanah yang semuanya terlihat baru. Orang-orang dimakamkan dalam waktu yang berdekatan. Bahkan, di dekat kami yang sedang berdoa, petugas sedang memakamkan jenazah lain yang baru tiba. Padahal hari sudah malam. Hatiku menciut. Seolah baru tersadar bahwa wabah ini ada. Bahwa kita adalah makhluk yang lemah.
Begitupun, ketika meninggalkan pemakaman yang gelap tanpa lampu, kuharap Covid-19 ini segera menjauh dan berlalu. Agar jangan ada korban-korban baru. Agar hidup kita kembali lagi seperti dulu.
Jaga protokol, ya Teman-teman. Jangan lengah. Tetap sehat, tetap semangat!