Akhir yang Manis (The Queen’s Gambit)

Beth Harmon yang disambut hangat oleh warga tua Soviet

Baru saja aku selesai menonton The Queen’s Gambit di Netflix. Tokoh utama miniseri yang diadaptasi dari novel ini adalah Beth Harmon, anak yatim piatu yang menjadi Ratu Catur dari Amerika Serikat. Mengambil latar tahun 1950-an sampai 1960-an, cerita ini menyajikan isu rasial, kesetaraan jender, dan Perang Dingin. Walau tentu saja, konflik batin dan kesehatan mental Beth Harmon lebih diutamakan.

Dari tujuh episode yang ada, aku sangat terkesan dengan yang terakhir. Menarik untuk melihat bagaimana Beth Harmon berhasil bangkit kembali dari kejatuhannya yang dalam: Trauma masa kecil yang terus menghantui, kecanduan alkohol dan obat-obatan penenang, sebatang kara tanpa orang tua dan teman, kalah dalam pertandingan terakhirnya, hilang percaya diri, dan tak punya motivasi untuk merebut gelar juara dunia dari Borgov, pecatur Uni Soviet yang telah dua kali mengalahkannya.

Seperti lagu Joy Tobing, semua karena cinta. Cinta dan kebanggaan Pak Shaibel yang baru ia sadari, ketika guru caturnya itu telah meninggal dunia. Kasih sayang Jolene, teman masa kecil yang rela mengorbankan tabungan kuliahnya agar Beth bisa bertanding ke Moskow. Dukungan teman-teman sesama pecatur dengan melakukan simulasi pertandingan tanpa pamrih, dan pertemuan kembali dengan cinta pertama yang selalu mendukungnya.

Namun yang paling aku suka adalah adegan terakhir di episode ini. Ketika Beth turun dari mobil dan meninggalkan petugas keamanan Amerika yang selama ini mengawalnya dengan ketat. Berjalan kaki menyusuri jalanan Moskow, menemui warga tua Soviet yang sedang bermain catur di taman. Alih-alih keselamatannya sebagai warga Amerika terancam, ia justru mendapatkan sambutan hangat, sehangat sikap Borgov ketika mengakui kekalahannya dari Beth Harmon.

Sungguh pesan damai yang manis.
0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like