Suyati

Rumah Impian, oleh Nouruzzahra
Namanya Suyati (bukan nama sebenarnya), dan ia membuatku terkesan pada pertemuan pertama kami. Bukan karena wajahnya yang bersih atau penampilanya yang rapi, melainkan karena sikapnya yang berbeda. Di pertemuan itu, ia menjabat tanganku tanpa sikap merendah, persis seperti sikap rekan sekerja di kantor. Bukan seperti jabat tangan beberapa asisten rumah tanggaku sebelumnya.

Setelah beberapa lama bekerja di rumahku, aku jadi tahu bahwa ia bukan orang susah. Ibarat kata, bekerja ya syukur, ngga bekerja juga masih bisa makan. Di kampung ia bahkan sudah punya rumah sendiri, yang dibangun dari hasil kerja keras sebagai TKW beberapa tahun sebelumnya. “Uangnya dari saya. Tanahnya punya mertua. Tadinya tanah itu mau diwariskan untuk suami saya,” katanya mengenang.

Sayang suaminya tak berumur panjang. Ia meninggal mendadak karena kecelakaan kerja. Hati Suyati tentu terguncang ditinggal orang tercinta. Selain itu ia juga gelagapan, bagaimana menafkahi putra semata wayangnya? Sudah bertahun-tahun ia tidak bekerja.

Untunglah ada santunan kematian akibat kecelakaan kerja yang diterimanya. Aku tak tahu berapa jumlahnya, tapi menurut Suyati, cukup untuk menopang hidupnya bertahun-tahun bersama anaknya. “Ya kalau hidup hemat cukup aja, Bu,” katanya. “Kan rumah ndak nyewa. Makan masih dibantu sama hasil nanam di kebun. Pakaian sama yang lain-lain, ya seadanya saja.

Lalu aku menggodanya, mengapa tidak menikah lagi. Dia masih muda waktu ditinggal menjanda. sekarang saja belum 40 tahun usianya. Wajahnya cukup manis dengan kulit yang putih bersih. Tapi dia menggeleng. “Saya masih makan uang peninggalan suami, ndak tega. Lagipula, saya cuma mikir anak saya, yang penting dia bisa sekolah.”

“Jadi, kenapa sekarang pergi bekerja?” tanyaku heran.

“Ya, dulu anak saya masih SD, sekarang udah masuk SMK. Takut ndak cukup lagi simpanannya. Lagipula dia udah besar, udah bisa ditinggal kerja. Paling saya minta tolong mertua untuk lihat-lihat dia.”

Kelihatan siy kalau dia sayang dan dekat sama anaknya. Hampir tiap malam bertelepon, setelah semua urusan kerja selesai. Pernah pula dia minta izin pulang kampung ‘hanya’ karena anaknya ulang tahun. Whaaat?! Baru kali ini ada asisten rumah tangga minta izin pulang untuk alasan romantis seperti itu.

“Ini kan yang ke-17 Bu. Kasihan kalau ndak ada saya. Saya mau masak untuk dia makan-makan sama teman-temannya.”

Terpaksalah aku izinkan, walau sempat khawatir dia tak kembali. Untunglah dia benar-benar datang lagi setelah 10 hari. Kembali bekerja, sampai hampir setahun. Sampai suatu hari ia minta berhenti. Tentu aku terkejut. Ada masalah apa?

“Saya mau kerja pabrik di Taiwan, Bu.”

“Kenapa?”

Ternyata tanpa sepengetahuannya, mertuanya telah membuatkan sertifikat rumahnya atas nama anaknya. “Memang siy dikasihnya ke anak saya sendiri, tapi kenapa saya ngga diajak ngomong.” Terlihat gurat kecewa di wajahnya ketika bercerita. “Memang tanah itu, tanah mertua saya, tapi untuk bangunnya kan pakai uang saya.”

Aku tak tahu harus berkomentar apa.

“Mungkin mertua saya khawatir nanti saya kawin lagi, trus tanah suami saya kepake sama orang lain,” katanya pelan, berusaha memahami perbuatan mertuanya.

“Trus, kenapa jadi mau kerja keluar negri?” tanyaku belum mengerti.

“Ya, kan bisa dibilang sekarang saya ndak punya rumah lagi Bu. Kalau sudah tua nanti gimana? Ndak enak numpang sama anak. Memang sih anak saya sekarang baik. Tapi kan ndak tahu besok. Ndak tahu juga istrinya nanti kayak gimana, anak-anaknya gimana. Jadi saya mau ngumpulin duit lagi untuk bikin rumah. Biar kecil, tapi punya saya sendiri. Kerja di luar negri, lebih besar hasilnya daripada di sini. Lebih cepat ngumpulnya.”

“Kamu ndak ngomong aja dulu sama mertuamu?”

“Ah, saya ikhlasin aja, Bu. Biar ndak ribut sama mertua. Dia juga niatnya pasti baik untuk anak saya. Tapi kan Saya juga harus mikirin hari tua Saya.”

“Emang harus sekarang ke luar negrinya?” Aku masih mencoba menahan.

“Saya kan ndak bisa kerja selamanya, Bu. Sekarang aja udah mau empat puluh. Mumpung masih sehat dan kuat, ya saya mulai lagi dari sekarang.”

Aku tak bisa menahan lagi. Dengan berat hati kulepaskan ia pulang. Info terakhir yang kudapat tahun lalu, ia sudah siap berangkat melalui salah satu agensi TKW. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Semoga ia sehat-sehat saja di masa pandemi covid-19 begini. Semoga ia berhasil mewujudkan cita-citanya. Amin.

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like