
J.K. Rowling telah menyihir saya 20 tahun yang lalu. Kini ia menyihir putri saya, Zahra. Bahkan dengan pengaruh yang lebih hebat.
Semua dimulai dari buku ‘Harry Potter and the Cursed Child’, yang dibeli ayahnya di Gramedia. Zahra membaca buku itu dengan antusias, yang sebenarnya mengherankan bagi saya. Buku itu tebal, tanpa satupun gambar. Bukankah selama ini ia lebih suka membaca komik?
Ternyata bagi Zahra, imajinasi J.K Rowling benar-benar mempesona. Ia kemudian menjadi penasaran pada kisah-kisah lainnya. Namun bukan buku serial Harry Potter yang jadi sasarannya, melainkan film-film adaptasinya. Ia tonton semua seri. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Saya mencoba memaklumi. Zahra sendiri suka menulis cerita yang berasal dari imajinasi.
Tak cukup sampai di situ, suatu hari ia pulang dengan membawa ranting sepanjang lengan, yang dipungutnya dari halaman sekolah. Mau dibuat tongkat sihir, katanya. Saya menonton saja.
Ia lapisi ranting itu dengan playdoh atau plastisin mainan berwarna putih. Nanti, akan dihias dan dicat seperti tongkat sihir milik Hermione, teman Harry Potter yang sangat cerdas itu. Sayang seribu sayang, ranting itu patah karena mungkin memang sudah rapuh.
Tak hilang akal, ia coba rekatkan kedua patahan itu dengan lem. Menyambung sebentar, tapi kembali patah ketika ranting itu diayunkan. Berdiri terpaku, ia tak tahu lagi apa yang harus dilakukan.
“Ya sudah, nanti cari lagi ranting yang lebih bagus di sekolah,” kata saya.
Ia mengangguk. Tetapi ranting yang cocok belum ketemu juga. Sampai Covid-19 datang, dan sekolah dilakukan dari rumah. Sudah lebih dari 3 bulan. Tapi ia tak juga lupa dengan keinginannya. Beberapa kali saya lihat, layar laptopnya penuh dengan gambar-gambar tongkat sihir.
Saya tahu, lebih baik membantu mewujudkan tongkat sihir buatannya sendiri. Tapi saya sungguh tidak kreatif. Akhirnya karena kasihan, saya belikan ia tongkat sihir Hermione. Tentu bukan dari Museum Harry Potter yang ada di London itu. Hanya tongkat mainan dari Tokopedia. Itu saja, ia sudah gembira. Langsung ia ayunkan sambil menyerukan salah satu mantra, ”Wingardium Leviosa!”
Ah, ia memang masih anak-anak, ya. Masih suka bermain. Masih suka berimajinasi. Bahkan bermimpi. Dan saya tertegun membaca mimpi yang dituliskan di salah satu buku antologinya yang berjudul ‘My Mom’. Ia ingin menjadi penulis seperti J.K. Rowling, bahkan lebih baik lagi. Sementara mamanya dulu sudah puas dengan menjadi pembaca buku J.K. Rowling.

Semoga Allah kabulkan ya, Nak. Keep writing, keep praying…