Saya selalu menilai diri saya sebagai orang yang rasional dan tidak mudah terbawa perasaan. Menangis, sangat jarang saya lakukan, karena saya dibesarkan dengan ajaran bahwa menangis adalah tanda kelemahan (walau sekarang saya mulai mengerti bahwa menangis adalah juga tanda kelembutan, kasih sayang dan cinta, bahkan ketangguhan).
Tiba-tiba, saya menjadi gampang menangis. Membaca berita sedih sedikit, saya menangis. Menonton film yang sebenarnya nggak sedih-sedih amat, saya menangis. Anehnya, pikiran saya bisa berkata, “Gini aja kok nangis, sih?” Tapi emosi terharu dan kesedihan, tidak bisa saya tahan. Saat itu saya merasa, pikiran dan perasaan saya tidak sejalan. Itu terjadi ketika saya hamil. Kelak saya tahu, terjadi perubahan hormonal dalam tubuh saya, yang mempengaruhi emosi saya.
Tentu saja saya sangat berbahagia dengan kehamilan saya. Apalagi usia saya waktu itu sudah menginjak kepala tiga. Hati saya tergetar menyentuh pakaian-pakaian mungil yang saya dan suami siapkan untuk si jabang bayi. Kami sangat antusias menyambut kelahiran sang buah hati.
Tetapi kebahagiaan kadang tidak datang sendiri. Pada kisah saya, ia juga ditemani oleh bingung dan stress. Ketika bayi saya lahir, saya tersadarkan bahwa saya tak pernah merawat bayi manapun sebelumnya. Saya tak tahu bagaimana cara menggendongnya. Saya tak bisa mengganti popoknya. Saya panik ketika air susu belum keluar. Saya tertekan dengan komentar semua orang yang terasa menyudutkan.
Bayi saya tak bisa ditinggal walau sebentar, ia akan menangis walau baru selesai menyusu dan popoknya kering. Ia harus digendong sepanjang malam sampai saya nyaris tak bisa tidur. Saya tak mengerti mengapa ia menangis terus. Saya tak paham apa maunya. Oh, saya merasa menjadi ibu yang gagal.
Akibatnya saya menjadi sangat sensitif. Saya sering menangis atau marah tanpa sebab yang jelas. Bahkan ketika suami mengatakan sesuatu dengan lembut untuk menolong, saya menjadi tersinggung dan marah. Saya benar-benar tidak bisa mengontrol emosi, sampai asisten rumah tangga saya pun minggat, karena tidak terima dengan sikap emosional saya yang sangat keterlaluan.
Untunglah, hal itu tidak berlangsung lama. Pada bulan ketiga, saya mulai tenang, mulai bisa menguasai diri. Walau rambut masih rontok dengan sapuan tangan saja, saya mulai bisa berpikir jernih. Semua itu, tentunya tak lepas dari bantuan dan dukungan orang-orang sekitar.
Saya bergabung dengan grup milis AIMI (Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia). Semua anggotanya sangat aktif dan suka membantu. Pertanyaan saya yang sangat remeh temeh perihal menyusui dan merawat bayi, mendapatkan jawaban yang cepat di situ. Saya mulai mendapatkan pegangan, dalam mengasuh makhluk mungil yang sangat tergantung pada saya itu. Nantinya, saya juga bergabung dengan milis MPASI dan milis Sehat, yang sangat membantu saya dalam menyiapkan makanan pendamping ASI dan menjaga kesehatan bayi saya.
Dukungan ibu saya tak pula kurang. Walau tak selalu setuju dengan cara merawat bayi yang saya terapkan, beliau tak hendak mendebat saya. Beliau tetap membantu merawat bayi saya dengan cara yang saya mau. Mungkin juga karena tak tega melihat putrinya yang tiba-tiba jadi super cengeng walau tetap keras kepala.
Tentu saja dukungan yang paling utama berasal dari suami saya. Ia selalu memeluk saya, membesarkan hati saya, menerima perkataan saya tanpa bantahan, menepis komentar orang-orang yang sekiranya mengganggu hati saya. Ia yang memandikan bayi kami ketika saya sama sekali tak berani melakukannya. Ia yang mengguntingkan kuku tangan dan kaki yang begitu mungil itu. Ia ikut bangun malam untuk menggendong si buah hati agar saya bisa tidur. Ah ya, pada bulan ketiga, bayi mungil kami mulai bisa tidur malam. Itu juga faktor penting yang membuat saya menjadi lebih tenang.
Sekarang, masa-masa itu sudah berlalu dan tinggal jadi kenangan bagi saya. Tapi memberi pesan yang dalam pada saya, bahwa hamil dan melahirkan, tidak selalu ‘mudah’ bagi setiap perempuan. Mudah dalam tanda petik, karena secara kasat mata, semua orang tahu bahwa kedua hal itu adalah perjuangan super berat bagi perempuan.
Saya mengagumi setiap perempuan yang bisa melalui masa kehamilan dan melahirkan dengan baik. Banyak teman perempuan saya yang begitu. Tapi saya juga kini mengerti bila ada perempuan yang mengalami baby blues, atau lebih parah lagi, depresi pasca melahirkan. Yang mereka perlukan adalah dukungan. Bukannya stigma negatif, atau tudingan kurang bersyukur. Apalagi dari orang-orang terdekat, orang-orang tercinta.