Sudah jam delapan malam. Kereta yang kami tunggu belum juga tiba. Aku menjadi gelisah. Demikian pula kedua temanku. Juga para calon penumpang lain di sekitar kami. Kuperhatikan tiket di tangan yang nyaris lusuh. Aku tak salah lihat, jam keberangkatannya tertulis jam delapan malam.
Aku berjalan ke loket informasi, mengetuk pembatas kaca untuk menarik perhatian petugas di baliknya. Ketika ia mengangkat wajah memandangku, kutunjukkan tiketku sambil bertanya kapan kereta datang. Ia menggeleng. “Belum datang. Ditunggu saja,” jawabnya datar.
Lesu, aku kembali ke tempat kedua temanku menunggu. “Memang belum datang,” laporku. Mereka kembali memeluk ransel masing-masing, lumayan seperti memeluk guling di atas kasur. Kami memang sudah mengantuk. Lelah setelah seharian menyelesaikan urusan kepanitiaan Bulan Ramadhan di Masjid Syuhada, lalu pulang ke Asrama Yasma Putri, dan buru-buru ke Stasiun Lempuyangan agar tak ketinggalan kereta ke Bandung.
Ini malam lebaran. 1420 Hijriah. Sebagai mahasiswa yang tak bisa pulang kampung, kami bermaksud merayakan lebaran di Lembang, Bandung, di rumah salah seorang teman kuliahku. Maklumlah, kampung halaman begitu jauh di mata. Aku dari Aceh, temanku masing-masing dari Makassar dan Bima, NTB. Alhamdulillah kami masih punya cukup uang untuk membeli tiket kereta dari Yogya ke Bandung. Tentu kelas ekonomi.
Kulirik arloji di tangan. Sudah jam sepuluh malam. Kereta yang kami tunggu belum datang juga. Beberapa kereta yang lewat ke berbagai tujuan terlihat sangat penuh. Para penumpang berjubel di dalamnya. Baik yang kebagian tempat duduk maupun yang hanya kebagian duduk di lantai. Bahkan sebagian terlihat berdiri.
Kami bertiga saling pandang. Masing-masing mulai menyiapkan mental untuk nanti berdiri di kereta. Kecil kemungkinan kami akan kebagian tempat duduk. Memang tidak ada nomor kursi di tiket kami. Duduk di lantai atau berdiri, adalah pilihan bagi yang tak kebagian kursi. Tak sadar, yang akan terjadi ternyata lebih buruk dari itu.
Hari berganti. Sudah jam satu pagi. Tepat ketika mata nyaris tak bisa lagi diajak kompromi, kereta yang dinanti tiba. Ia terlambat lima jam! Mengingatkanku pada lagu Iwan Fals: Kereta tiba pukul berapa. Bergegas kami mengangkat ransel, lalu berlari menuju gerbong terdekat. Penuh. Orang-orang sudah ramai mendahului kami di pintu kereta. Berebut masuk.
Kami berlari ke gerbong berikutnya. Penuh. Bahkan pintunya tak bisa dibuka. Orang-orang berteriak dan menggedor pintu agar dibuka. Tapi aku bisa melihat, tak ada celah lagi di dalam gerbong yang memungkinkan penumpang baru bisa masuk.
Cemas, kami lari lagi ke gerbong berikutnya. Sama. Kami lari dari satu gerbong ke gerbong yang lain. Tak beda. Tak satupun gerbong yang bisa kami masuki. Sebagian malah sudah penuh hingga pintunya tak lagi bisa dibuka. Sampai waktunya habis. Kereta bergerak perlahan. Nanar, kami pandangi kereta yang melaju meninggalkan peron.
Lemas, kami berjalan ke loket. Mengembalikan tiket dan menerima penukaran uang. Terima nasib. Berlebaran di asrama saja, bertiga, tanpa ketupat, tanpa hidangan lebaran. Kami pulang ke asrama, bagai prajurit yang kalah perang.
Seusai sholat subuh, dengan menggunakan telepon asrama, kutelepon temanku yang di Lembang. Mengucapkan selamat lebaran, mohon maaf lahir batin, dan mohon maaf kami tak berhasil sampai ke rumahnya. Kecewa rasanya. Tapi yah, nikmati saja. Mungkin akan ada hikmahnya nanti.
Pagi ini persis begitu. Lebaran 1441 Hijriah. Kutelepon ibu di kampung. Mengucapkan selamat lebaran, mohon maaf lahir batin, dan mohon maaf kami tak jadi pulang di lebaran kali ini. Padahal sudah janji dari tahun lalu. Apalagi ini lebaran pertama kami tanpa almarhum ayah, yang berpulang ke Rahmatullah pada Agustus lalu. Tapi pandemi covid-19 menghentikan langkah. Suatu alasan yang sebelumnya tak pernah terpikir olehku akan ada. Kecewa, pasti. Apalagi bagi putriku, yang sudah mengharapkan perjumpaan dengan sepupu-sepupunya. Tapi mudah-mudahan memang ini yang terbaik.
Meski begitu, masih ada kepulangan lain yang kuharapkan dapat terjadi. Kepulangan jiwa pada kemurniannya. Kembalinya diri pada fitrahnya. Walau ibadahku pada Bulan Ramadhan ini sama sekali tak berarti, tetap kuberanikan diri berharap pada kemurahanNya. Semoga Dia berkenan mengampuniku, mengampuni keluarga dan sahabat-sahabatku, mengampuni kita semua.
Dan dengan segala kerendahan hati, kami sekeluarga mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijrah, mohon maaf lahir dan batin. Taqabbalallahu minna wa minkum, Shiyamana wa Shiyamakum. Ja’alanallaahu Minal ‘Aidin wal Faizin. Semoga Allah menerima amal-amal kami dan kamu, puasa kami dan kamu. Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk dari orang-orang yang kembali (dari perjuangan Ramadhan) sebagai orang yang menang. Amin.