Rindu menjelma Bunga

“Papa yang nanam, mama yang dapat uang,” kata ayahku bersungut- sungut.

Aku tertawa, tahu ayah hanya berpura-pura kesal. Melirik ke teras, kulihat ibu sedang bertransaksi dengan seorang perempuan sebayanya, seseorang yang kutahu punya rumah besar di kota.

“Dia beli berapa pot, ma?” tanyaku ketika transaksi itu selesai dan sang pembeli pulang.

“Tiga.”

“Alhamdulillah. Hebat.” Bagaimana mungkin orang mau membuang uang hanya untuk membeli bunga? pikirku heran.

“Rumahnya besar. Dan dia belum punya bunga-bunga yang sebagus ini,” kata ibu seperti bisa membaca pikiranku.

“Kok dia bisa tahu kita punya banyak bunga, Ma?” tanyaku lagi. Wajar aku heran. Di Kutacane ini, rumah kami terletak di kampung. Bukan pula di pinggir jalan raya.

“Ya dari ngobrol sama mama. Anaknya kan kawan Dek Udi sekelas. Mama jumpa waktu kemarin ngambil raport.”

Waaah, aku salut pada ibuku. Ia selalu bisa menangkap peluang. Tak pernah ragu, tak pernah malu. Yang penting halal, supaya kalian semua bisa sekolah, katanya.

Bunga yang ditanam ayah memang bagus-bagus. Bermacam-macam suplir yang daunnya rimbun, kuping gajah yang daunnya berbentuk hati, wijayakusuma yang tumbuh tinggi, lidah buaya, lidah mertua dan lain-lain.

Tapi di kampung begini, bunga-bunga itu bisa ditemukan di mana-mana. Tumbuh liar begitu saja. Tak kusangka, ditangan ibu, bunga-bunga itu bisa bertukar jadi uang.

“Nanti uang ini untuk beli seragam pramuka Intan,” kata ibu lagi. “Di tangan papa, tiga pot bunga itu pasti akan ada gantinya kan?”

Ayah tersenyum. Aku tersenyum. Sungguh pasangan serasi, pikirku. Papa yang menanam, mama yang menjual, hehehe. Itu adalah transaksi penjualan bunga yang pertama. Yang dilanjutkan dengan transaksi-transaksi berikutnya.

Kenangan itu melintas di hatiku, ketika memandang foto-foto kiriman adikku Ratna via whatsapp. Bunga-bunga yang persis sama, seperti yang ditanam almarhum ayah. Cantik sekali.

“Kakak ingat bunga-bunga ini?” tanyanya. Tentu saja aku ingat.

“Rindu membuat kami sekarang menanam bunga seperti papa, Kak. Dan seperti mama, kami juga sudah mulai menjualnya. Sudah banyak yang beli. Ada yang datang ke rumah, ada yang pesan via medsos. Kami juga buka lapak di akhir pekan.”

Aku tergugu. Antara rindu dan haru. Papa, lihat itu, bunga-bunga kesayangan papa ditanam Adek di Banda Aceh. Walau papa sudah berpulang ke Rahmatullah, cinta dan ilmu papa masih membawa berkah untuk Adek dan suaminya. Shalawat dan alfatihah untukmu, Papa Sayang.

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

Pulang

Sudah jam delapan malam. Kereta yang kami tunggu belum juga tiba. Aku menjadi gelisah. Demikian pula kedua temanku.…