Sudah empat minggu saya bekerja dari rumah. Working from home, istilah kerennya. Wfh, singkatnya. Selama itu, daster jadi pakaian ‘kebangsaan’ saya.
Saya sebenarnya jarang membeli daster. Bertahun-tahun, koleksi saya tidak bertambah. Hanya ada itu-itu saja. Dengan berat badan yang hampir tidak pernah berubah, hal itu tidak menjadi masalah. Saya pun tidak pernah merasa bosan.
Di antara koleksi yang sedikit itu, ada tiga daster yang paling saya gemari. Kalau mereka ada di lemari, pasti jadi pilihan pertama untuk saya kenakan. Ketiganya, sungguh nyaman di badan. Padahal seingat saya, harganya hanya empat puluh lima ribu rupiah. Di tahun 2010. Ya, sepuluh tahun yang lalu.
Ketika membelinya, saya tak berharap banyak. Pikir saya, dalam hitungan bulan kainnya akan sobek. Atau ada jahitan yang lepas. Atau ada karet yang mengendor. Maklum, saya membelinya di sebuah toko oleh-oleh.
Tak saya sangka, ketiganya bertahan begitu lama. Padahal saya memakainya hampir setiap minggu. Mungkin, yah mungkin warnanya saja yang mulai pudar.
Tapi karena saya ceritakan di sini, saya jadi memperhatikan daster ini dengan sungguh-sungguh. Kebetulan salah satunya sedang saya pakai.
Terlihat kerutan di bagian pinggang mulai mengendur. Mulai ada benang yang lepas di bagian lengan. Hm, berapa lama lagi mereka mampu bertahan? Ah, sayang saya tak ingat dulu membelinya di toko apa. Kalaupun ingat, jauh benar membelinya ke Pulau Lombok, hehehe.
Selain tiga daster itu, juga ada empat daster yang bagi saya istimewa. Mereka sudah bertahan selama 12 tahun bersama saya. Ya, sepanjang usia pernikahan saya, hahaha.
Ketika menikah di kampung halaman, saya mendapat begitu banyak kain panjang dan kain sarung sebagai kado. Sebagian kain itu dibagikan kepada saudara dan kerabat. Sebagian disuruh ibu saya bawa ke Jakarta. Persiapan kalau nanti punya bayi, katanya.
Dan ternyata, empat kain dibawa ibu ke tukang jahit langganan. Dijadikan daster untuk saya. Lalu dibawa ibu ketika mengunjungi saya ke Jakarta.
Sampai sekarang, keempatnya masih lumayan bagus. Jahitan masih kuat. Kain belum sobek. Dan tetap nyaman dipakai. Mudah-mudahan, mata saya tak siwer karena kenyamanan yang dirasakan ya, hehehe.
Nah, apakah teman-teman juga punya baju ‘kebangsaan’?
Note:
Setelah beberapa hari tidak nulis, ini saya sedang kembali mempraktekkan metode Lekat yang dulu diajarkan Coach Lutfi dari Jenius Writing. Yaitu mencari ide menulis dari apa yang melekat di badan. Topi, baju, jilbab, sepatu, apa saja. Bisa jadi tulisan, hehehe.