Banda Aceh. Aku tiba di sini beberapa hari setelah tsunami menghantam dengan keras daerah ini. Bersama kedua orang tuaku, kami datang untuk menjemput abang dan adik-adikku.
Tapi urusan belum selesai. Ketiga sepupuku masih di sini. Mereka tiba dari Yogya beberapa hari yang lalu, untuk mencari kedua orang tuanya yang belum bisa juga dihubungi.
Mobil yang kusewa berjalan pelan memasuki area bandara Sultan Iskandar Muda. Mereka ada di sini. Belum bisa kemana-mana sejak turun dari pesawat beberapa hari yang lalu. Ternyata sulit menemukan mereka diantara begitu banyaknya pengungsi di sini.
Ketika akhirnya aku bertemu dengan yang tertua, aku faham mengapa dari tadi telepon genggamnya tak bisa kuhubungi. Telepon genggam itu tak ada di tangannya. Sudah berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Dipinjam-pinjam entah oleh siapa. Tak takut hilang? Ia tertawa. “Selalu kembali kok, Tan. Dari kemarin nggak hilang kok,” katanya.
Aku tertegun. Selalu ia bermurah hati. Dalam keadaan apapun. “Eeh, aku cuma minjamin HP kok,” katanya. “Pulsanya kan dari Telkomsel.”
Ya, setelah sempat ambruk karena tsunami, Telkomsel dengan cepat bisa memperbaiki jaringannya, kalau ngga salah, pada hari ketiga. Telkomsel bahkan menggratiskan biaya telepon di kota ini. Kita bisa menelepon tanpa pulsa. Bantuan yang sungguh berarti, dalam situasi bencana seperti ini.
“Ikut, yuk, ke Kutacane,” ajakku.
Dia menggeleng. “Makasih ya Tan. Tapi mamak sama bapak belum ketemu. Kami di sini aja dulu.”
Aku berat hati mendengarnya. Entah kapan aku bisa ke sini lagi, pikirku. Entah bagaimana nanti mereka bertahan di sini. Anehnya, mereka bahkan tak memikirkan dirinya sendiri. Aku tahu, adik laki-lakinya datang ke sini dengan membawa barang-barang bantuan yang ia kumpulkan terlebih dahulu di Yogya. Ditengah galau hati memikirkan keadaan kedua orangtuanya, ia masih sempat memikirkan orang lain.
“Tia mana?” tanyaku, menanyakan adik perempuannya.
Sepupuku menunjuk ke satu arah. Banyak orang berkumpul di situ. “Tia buka posko kesehatan di situ. Dia bawa obat-obatan. Banyak yang sakit dan perlu perawatan di sini, Tan,” katanya.
Di sini aku sudah mau menangis. Kenapa begitu besar perhatian kalian pada orang lain? Sungguh Makcik dan Pakcik telah mendidik kalian dengan sebaik-baiknya.
Ketika akhirnya aku bertemu Tia, mahasiswi kedokteran itu, dia tertawa melihat wajah cemasku.
“Lebih baik kami kerjakan apa yang bisa, Kak. Daripada melamun ngga tentu. Mau keliling kota nyari mamak juga belum bisa. Ngga ada kendaraan,” katanya.
Aku mengangguk, tak bisa menjawab. Aku sendiri, ingin segera meninggalkan tempat yang sudah seperti kota mati ini. Bau jenazah tercium di udara. Makanan sangat terbatas. Air bersih sulit didapat.
“Kakak jangan khawatir. Do’akan saja kami,” katanya lagi.
Tentu. Tentu aku berdo’a untuknya. Untuk keselamatannya. Do’a yang hari ini kupanjatkan lagi agar sampai ke langit, setelah membaca pesan whatsapp-nya pagi ini.
Klinik tempatnya bertugas di Karawang sana kekurangan masker dan APD (Alat Pelindung Diri). Sementara beberapa hari ini, ratusan pasien datang dengan keluhan flu. Satu masker dipakai dokter selama seminggu. Sungguh tidak layak. Dan ia mulai merasa kurang sehat.
Maka izinkan saya berharap buat kita yang bisa, agar berdiam di rumah saja. Agar tak bertambah lagi jumlah dokter yang mengorbankan kesehatannya untuk pasien mereka.
Tambahan lagi, buat yang bisa, yuk kita berpartisipasi membelikan masker dan APD lain buat para dokter dan tenaga paramedis, agar tak bertambah lagi jumlah mereka yang mengorbankan nyawanya untuk pasien.
Terimakasih.
