Aku tahu ini hanya bunga tidur. Tapi ini bunga tidur yang indah.
**
Siang itu, sebuah bus antar kota berhenti di depan rumah. Akan menjemput siapakah ia? Atau adakah yang datang bertandang? Terdorong entah oleh apa, aku segera naik ke dalam bus dari pintu yang terbuka.
Aku susuri lorong diantara deretan kursinya, tak tahu juga mencari apa. Bus apakah ini? Ada lima kursi di setiap barisnya. Tiga di sebelah kiri lorong, dua di sebelah kanan. Hampir semua kursi telah terisi. Di bagian tengah, aku terhenti. Kulihat dirimu, tertidur nyenyak, rebahan di tiga kursi sederet. Terlihat begitu nyaman. Apakah engkau membeli tiga tiket sehingga bisa tidur di tiga kursi ini, Papa?
Berlutut di ujung kakimu, kusentuh lenganmu. Pelan saja. Tetapi engkau segera terjaga. Membuka mata, tersenyum melihatku. Engkau bergerak duduk dengan lamban. Meski begitu, engkau terlihat segar, sehat dan lebih muda.
“Sudah sampai rumah, Papa,” bisikku. “Ayo turun.”
Tetapi engkau menggeleng. Membuatku bingung. Kutatap adik perempuanku yang ternyata telah menyusulku naik. Ia terlihat sama bingungnya denganku.
“Papa masih harus berjalan,” katamu lembut.
“Kemana?”
Kau tidak menjawab. Tapi satu rasa tiba-tiba hadir di hatiku. Kehilangan.
**
Aku tahu ini bunga tidur. Karena kumimpikan engkau dalam tidur siangku, sebagai usaha menghilangkan sakit kepala dan flu yang mengganggu. Begitupun, aku bahagia ketika terbangun. Walau hanya sesaat, aku telah bertemu lagi denganmu.
Apalagi ini selain bunga tidur? bukankah apa yang kita pikirkan – kata orang – dapat hadir dalam mimpi-mimpi kita? Aku memikirkan kematian sebagai sebuah perjalanan. Perjalanan tanpa tiket kembali. Seperti cerita Seno Gumira dalam salah satu cerpennya. Hanya saja, bila Seno ceritakan perjalanan itu ditempuh dengan kereta api, aku membayangkan perjalanan itu ditempuh dengan bus. Seperti yang kuceritakan pada putriku Zahra, setahun yang lalu.
“Ma, apakah kematian itu menyakitkan?” tanyanya waktu itu. “Katanya sakit, Ma. Seperti domba yang dikuliti hidup-hidup,” lanjutnya.
Aku lupa sekarang, dari mana dia mendapatkan informasi itu. Mungkin itu benar. Mencabut duri dari dalam daging saja sakit, bagaimana lagi mencabut nyawa? Tapi aku juga tak mau ia takut pada kematian.
“Mati itu Kak, berarti pulang kepada Allah. Semua orang akan mati. Kalau hati kita senang berjumpa Allah, kematian akan mudah, dan tidak terasa sakit. Sebaliknya, kalau kita tak mau mati, kematian akan terasa sakit.”
Putriku diam memandangku.
“Kakak bayangkan, misal ada banyak orang di halte bus. Semua menunggu bus yang akan menjemput mereka masing-masing. Ada yang busnya cepat datang, ada juga yang lama. Kadang, sampai yang menunggu jadi lupa. Nah, begitu busnya datang, orang-orang yang sudah siap pergi, pasti langsung naik. Mudah. Enggak ada masalah. Tapi orang-orang yang belum mau pergi, masih asyik main, enggak akan mau masuk ke dalam bus. Sampai harus dipaksa sama kondektur. Kakinya ditarik masuk bus, tapi tangannya masih berpegangan dengan apa saja di luar bus, misalnya, pada tiang. Tapi kan busnya enggak mau menunggu. Langsung jalan. Pasti sakit, kan, ditarik paksa begitu?”
Putriku mengangguk samar. Pahamkah ia? Aku sendiri pun mungkin tak paham sepenuhnya. Cukuplah ia tahu, kematian itu bisa mudah dan indah karena mengantarkan pada Yang Dirindukan. Bisa pula sakit karena besarnya cinta pada yang ditinggalkan.
Aku tahu ini hanya bunga tidur. Meski begitu, kupanjatkan do’a untukmu papa, semoga perjalananmu benar senyaman yang kulihat dalam bunga tidurku. Shalawat dan alfatihah untukmu…
Gambar Bus dari google, untuk ilustrasi
Tags:
- papa
intankemala
Ibu dari seorang putri, yang ingin mencatat hal-hal berkesan yang dilihat, dialami, dan dirasa. Terimakasih sudah berkenan singgah dan membaca ya.