
“Dimasakin apa sama mama kalau di rumah?” tanya makwo padaku. Waktu itu aku sedang menghabiskan akhir minggu di rumahnya. Sejak merantau dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas di Langsa, memang mudah bagiku untuk mengunjungi makwo, nenek dan kerabat lainnya di Kuala Simpang. Hanya perlu waktu 1 jam untuk menempuh perjalanan dari Langsa ke Kuala Simpang, menumpang kendaraan L300.
“Ya, macam-macam, Makwo,” jawabku. “Sambalado, gulai, tumis cabai hijau, apa ajalah,” sambungku.
“Wah, mama bisa?” tanya makwo takjub.
Giliran aku yang takjub. Pertanyaan yang aneh, pikirku agak kesal waktu itu. “Tentu saja bisa, Makwo,” kataku. Apa susahnya masak yang demikian buat ibuku? Sepanjang ingatanku, memasak adalah salah satu keahlian beliau. Bukan hanya untuk keluarga, tapi juga untuk orang lain. Beliau bahkan sering menerima pesanan catering-memasak untuk puluhan bahkan ratusan orang-yang membuat seluruh ruang di rumah kecil kami berubah fungsi menjadi dapur.
Makwo tertawa melihat wajah cemberutku. “Mama kamu itu, dulu ga bisa masak apapun waktu kawin sama papamu. Syukurlah kalau sekarang sudah banyak kemajuannya,” katanya penuh sayang.
Aku bengong. Mencoba meresapi informasi yang baru kuterima. Ibuku, dulu, ga bisa masak? Sedangkan sekarang, masakannya adalah yang terlezat bagiku.
Dalam pikiranku, ia lah perempuan terhebat di dunia ini. Ia menyulap bahan mentah menjadi masakan lezat. Ia menyulap kain perca menjadi selimut. Ia menyulap selembar kain jadi baju cantik untukku. Ia menyulap tanah sebelah menjadi kebun palawija. Ia menyulap tanah kosong menjadi rumah mungil kami. Ia dirikan kios kelontong. Ia buka warung makan. Ia, bisa melakukan hal-hal hebat di mataku. Termasuk, mengirim anak-anaknya pergi jauh dari rumah untuk sekolah. Padahal, kalau dihitung secara matematis, tak kan cukup gaji ayahku untuk membiayai kami.
Lama setelah itu, aku mulai bisa memahami ibuku. Ia, yang yatim piatu sejak kecil, tak serta merta bisa ‘bersulap’. Ia harus belajar menggunakan mesin jahit warisan nenekku, untuk bisa menghadirkan baju-baju dan selimut hangat untuk keempat anaknya. Untuk bisa menerima pesanan jahitan dari orang lain dan menambah pemasukan keluarga.
Aku mulai faham, bahwa ia belajar dan berlatih keras untuk bisa menghadirkan hidangan lezat di atas meja pelanggan. Ayahku adalah pendukung setianya. Yang membelikan buku-buku resep, yang memberi penilaian atas hasil masakannya, yang memberi saran bumbu atau bahan apa yang perlu dikoreksi komposisinya. Hingga ibuku kemudian berani membuka warung lontong yang cukup laris di depan rumah. Atau menerima pesanan catering dari pelanggan.
Aku mulai mengerti, bahwa sebelumnya, belum pernah tangan mungil ibuku memegang, apalagi mengayunkan cangkul dan parang. Tapi setelah suami berangkat kerja, setelah semua anaknya berangkat ke sekolah, setelah semua pekerjaan rumah tangga terselesaikan di jam 9 pagi, gatal tangannya melihat tanah menganggur di sekitar rumah. Maka ia babat rumput liar setinggi pria dewasa di tanah itu. Ia gemburkan tanahnya dengan cangkul. Ia tanami jagung, singkong, pisang, jambu dan tanaman lain yang menghasilkan. Ia belajar dari sekeliling untuk bisa melakukannya. Ia mengurangi jam tidur untuk bisa melakukannya. Ketika panen, jam 3 pagi ia berangkat ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Dan sudah akan tiba kembali di rumah sebelum anak-anaknya bangun. Menyiapkan sarapan untuk mereka. Sambil bolak balik ke kamar membangunkan anak-anaknya. Aku pun semakin mengerti, mengapa ayahku selalu marah kalau aku melewatkan sarapan pagi, apalagi hanya karena terlambat bangun. Sarapan, yang sudah susah payah disiapkan ibuku, diantara sekian banyak pekerjaan yang harus dilakukannya.
Aku mengerti, ibuku bisa saja berdiam diri dan menyerah pada nasib. Menerima kenyataan bahwa empat anaknya tak kan bisa kuliah karena gaji suaminya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Ia bisa saja bilang bahwa aku hanya perempuan lulusan SMA yang tak punya keterampilan apa-apa untuk membantu biaya sekolah anak-anakku.
Tapi ibuku tidak begitu. Ia punya cita-cita. Anak-anaknya harus jadi sarjana. Anak-anaknya harus mandiri. Anak-anaknya akan pergi dari sisinya untuk menuntut ilmu. “Kalian ga akan selamanya ada di bawah ketiak mama,” begitu katanya selalu.
Dan mengirim anak untuk sekolah itu perlu biaya. Biaya yang harus ia bantu cari. Ia cari dengan tekad dan semangat baja. Ia sambar tiap kesempatan yang ada. Tanpa malu, tanpa gengsi, tutup telinga dari gunjingan orang. “Suaminya pegawai negri, kok istrinya masih sibuk cari uang sana sini,” kata mereka. “Apa mereka mau ngasih mama duit kalau mama perlu bayar uang sekolah kalian?” kata ibuku suatu waktu. Aku terdiam. Mengerti. Jangan harapkan. Sementara ayahku, hanya membawa pulang gaji ke rumah. Uang sana sini,tak pernah ada dalam kamusnya.
Aku mengerti. Ibuku tak terlahir sebagai perempuan super. Ia hanya perempuan biasa. Yang mencintai anak-anaknya dengan luar biasa. Cinta yang mendorongnya untuk terus belajar, bekerja, berdo’a, dan tak pernah menyerah pada ujian kehidupan. Bahkan di usia senjanya. Maka sekarang aku akan malu pada dirinya, bila aku menyerah pada ujian kehidupanku sendiri.
Ibu, kau lah guru sejatiku. Keteguhanmu yang menopang langkahku. Cintamu yang kuatkan aku. Do’amu yang menjagaku, selalu.
Tulisan yang berhubungan : https://intankd.wordpress.com/2015/04/24/ibuku-dan-semangatnya/