Gusti Allah mboten Sare (VIII-Tamat)

Tarigan menatap Fendi dengan gelisah. Ia mengumpulkan keberaniannya sebelum mulai berbicara. “Maafkan saya Bang. Saya ga tahu kalau abang yang kena pecat. Semua salah saya bang.”

Fendi menatapnya tak mengerti. “Maksudnya bagaimana?”

“Eehm..itu Bang. Saya yang bikin mati semua tanaman kakao dulu. Saya kasih racun semua Bang.”

Fendi terkejut. “Kamu kasih racun? Kenapa?”

“Maaf Bang, saya gelap mata. Tapi demi Tuhan, saya ga bermaksud mencelakakan abang. Sebetulnya yang mau saya tembak itu, si Zainal, wakil abang itu. Saya kesal bang. Dia minta saya mengumpulkan banyak orang untuk kerja di pembibitan. Tapi hampir 3 bulan kami bekerja, ga dibayarnya juga gaji kami. Saya kan harus kasih makan anak istri, Bang. Orang-orang yang saya ajak kerja juga menyalahkan saya. Ngejar-ngejar saya. Saya sudah nagih berkali-kali ke Zainal, tapi jawabnya cuma nanti, nanti. Palak saya bang. Saya racuni aja semua bibit kakaonya. Biar tahu rasa si Zainal itu, kena tegur.”

Tarigan menatap Fendi. Hatinya lega. Beban rasa bersalah bagai diangkat dari dadanya.

Fendi menutup matanya, menyandarkan kepalanya ke kursi. Pelan-pelan mencoba mencerna informasi mengejutkan yang baru saja didengarnya.

“Saya minta maaf, Pak Fendi,” Pak Sapri buka suara. “Kami telah salah mengambil keputusan. Pak Tarigan ini, dua hari yang lalu datang ke kantor. Dia berkeras mau jumpa dengan kepala dinas provinsi yang sedang berkunjung. Dia mengakui perbuatannya. Zainal juga akhirnya mengakui perbuatannya. Biaya operasional pembibitan kakao itu, ternyata dia gunakan untuk biaya pernikahannya.”

“Maaf Bang. Saya juga baru tahu kalau abang yang kena pecat. Begitu tahu, saya mau langsung datang ke kantor abang. Tapi kemudian saya pikir, lebih baik saya tunggu saja orang provinsi datang lagi. Kan mereka yang mecat abang. Jadi, harus sama mereka juga saya sampaikan pengakuan saya.”

Fendi masih diam. Terbayang olehnya seluruh kesulitannya selama 2 tahun ini. Ia merasa kemarahan mengalir ke dadanya, mengingat kesusahan yang dialami anak-anak dan istrinya. Tapi, apa gunanya marah? Fendi beristighfar. Ya, mereka memang kesulitan secara ekonomi. Tapi semakin kuat dalam kesetiaan dan kasih sayang. Bahkan anak-anaknya begitu baik budi walau hidup dalam kekurangan.

“Abang mau maafkan saya?” Tarigan menatapnya penuh harap.

Tanpa ragu Fendi mengangguk. “Tentu saya maafkan,” katanya.

“Terimakasih Bang,” Tarigan menggenggam tangan Fendierat-erat. “Saya ikhlas menjalankan hukuman apa aja, asal Abang sudah maafkan saya. Abang selama ini sudah begitu baik sama saya dan para petani.”

Pak Sapri berdehem. Ia mengangsurkan sepucuk surat kepada Fendi. “Pak Fendi, saya diperintahkan kepala dinas provinsi untuk menyampaikan surat ini kepada bapak.”

Fendi membuka amplop yang tidak dilem itu, dan membaca isinya dengan cepat. Permintaan maaf tertulis di situ, atas keputusan pemecatan 2 tahun lalu yang ternyata keliru. Kerja kerasnya, dedikasinya, kejujurannya selama bekerja, masih sangat dihargai. Dan ia diminta untuk kembali bekerja di Dinas Perkebunan Aceh. Ada posisi untuknya di Takengon,  atau di Kecamatan Bintang. Ia boleh memilih salah satu.

Fendi bimbang. Ia bersyukur nama baiknya telah dipulihkan. Tapi, untuk kembali? Rasa kecewa masih menggayuti hatinya, atas keputusan petinggi yang dirasanya sewenang-wenang dulu. Tanpa seorangpun mau membela.

“Kami sangat berharap Pak Fendi mau bergabung kembali,” Pak Sapri  memutus lamunannya. “Dinas masih sangat membutuhkan orang-orang seperti Bapak.”

“Balik ajalah, Fendi,” Pak Said yang dari tadi diam, tiba-tiba ikut bersuara. “Saya tahu, yang kamu senangi itu tanah dan tanaman. Bukan tempat kamu di sini.”

Fendi tertegun. Tiba-tiba hasrat dan semangat terasa memenuhi dadanya, membayangkan ia akan kembali pada pekerjaan yang dicintainya. Tanah, tanaman, petani.  Dengan penuh syukur, ia mengangguk. Alhamdulillah. Segala puji bagi Allah.  Semoga, kesulitan segera diangkat dari pundak istri dan anak-anaknya.

Kebun Kakao, 
Gambar hanya untuk ilustrasi, diambil dari http://www.cahayapapua.com/papua-barat-siapkan-15-hektar-lahan-pembibitan-kakao/

===

Mbah Sastro menatap ibu 3 anak yang duduk di depannya. “Arep pindah nengendi kowe?” tanyanya heran. “Ga ada masalah lagi tho?” lanjutnya.

“Pindah ke Bintang, Mbah. Alhamdulillah ga ada masalah lagi, Mbah. Ini malah, suami saya dipanggil kerja lagi sama kantor lamanya. Bos nya udah tahu, kalau suami saya rupanya ga bersalah. Nama suami saya sudah dibersihkan, Mbah.”

 “Lha, terus kamu berhenti kerja?”

“Berhenti dulu, Mbah. Anak-anak ga ada yang jaga kalau sayakerja.  Nanti saya buka warung dulu aja di depan rumah, Mbah.”

Mbak Sastro tersenyum. Matanya bercahaya. Ia mengangguk-angguk senang. “Gusti Allah mboten sare, nduk,” katanya  sambil mengacak-acak rambut Fadhil yang tiba-tiba mendekat padanya.  

Aini balas tersenyum. Beban bagai sedang dilepaskan dari dadanya. Ia pandangi anak-anaknya, menyuruh mereka satu-satu menyalami Mbah Sastro, berterimakasih dan pamit. Jalan mereka masih jauh terbentang. Badai mungkin akan datang kembali. Tapi ia percaya, Tuhan tidak tidur. Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan hambaNya, apalagi yang berusaha dan berdo’a. Bersandar padaNya, Aini merasa siap menghadapi petualangan hidup selanjutnya, bersama keluarganya.

Tamat dulu yaaa… terimakasih sudah berkenan membaca..

 Keterangan:

Palak: panas hati; marah; merasa benci; kesal

Arep pindah nengendi kowe = mau pindah kemana kamu?

Gusti Allah mboten sare, nduk = Gusti Allah tidak tidur, nak

Cerita sebelumnya di https://intankd.wordpress.com/2018/12/06/gusti-allah-mboten-sare-vii/

0 Shares:
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like