Aini berjalan pulang dari sungai tempatnya mencuci. Sebelah tangannya membawa ember cucian. Sebelah lagimenggandeng putrinya, Meutia. Putra bungsunya Fadhil tertidur dalamgendongannya. Aini gemetar. Hampir saja ia kehilangan buah hatinya. Tadi, ketika asyik mencuci, tiba-tiba ia mendengar suara kecipak air yang keras disampingnya. Betapa terkejutnya ia, melihat Fadhil sudah jatuh ke dalam air. Tanpa pikir panjang, Aini melompat ke sungai, berenang mengejar anaknya yang mulai terseret hanyut. Orang-orang ramai berteriak di tepi sungai.
Untunglah, salah seorang tetangganya, Rosmi, berhasil meraih tangan anaknya, memeluknya dengan sebelah tangan lalu membawanya ke tepian. Wajah Fadhil sudah nyaris membiru. Aini menjerit. Panik. Rosmi meletakkan tubuh mungil itu ke tanah, memiringkannya dan menepuk punggungnya. Air pun muncrat keluar dari mulutnya. Ia terlihat bisa bernafas lagi, dan mulai menangis. Rosmi segera menyerahkan bocah 2 tahun itu pada ibunya, yang menerimanya dengan airmata yang sudah membanjiri wajahnya. Ia merasa nyawanyasendiri yang nyaris lepas dari badan.
Sesampainya di rumah, Aini meletakkan putranya di tempat tidur dengan hati-hati. Memberikan mainan pada Meutia, lalu menjemur pakaian di halaman. Tiba-tiba, panggilan yang kasar mengejutkannya.
“Eh, Mamak Saiful. Mana lakimu?”
“Kerja Kak. Kenapa?” tanyanya heran.
“Kerja, kerja, kerja! Coba kau periksa dulu, apa betul suamimu itu kerja??!” kata Kak Sa’diah sambil berkacak pinggang.
“Apa maksud kakak?” Aini merasa hatinya panas.
“Kalau betul suamimu itu kerja, kan harusnya dia punya uang. Jadi bisa bayar hutang sama saya.”
“Hutang? Hutang apa?”
“Eeeh, jangan pura-pura ya. Kamu kira, darimana baju sekolah anakmu itu?” Kak Sa’diyah menunjuk Saiful yang baru tiba dari sekolah. “Dari tokoku!” jawabnya sendiri. “Udah 6 bulan kok belum bayar juga. Janjinya mau cepat dibayar.”
Aini merasa wajahnya pias. Jadi begitu? Suaminya membelikan baju seragam anaknya dengan berhutang?
“Bilang sama suamimu, jangan berani ngutang kalau ga bisa bayar!” Kak Sa’diah berlalu dengan wajah marah.
Aini merasa lemas. Namun ia kuatkan dirinya meraih tangan anak pertamanya, mengajaknya masuk ke rumah. Ia malu pada tatapan beberapa tetangganya yang menyaksikan keributan itu. Dalam hati ia menyesali suaminya. Mengapa tidak bilang-bilang kalau berhutang?
===
Aini bersyukur. Ijazah SMA-nya masih berguna. Lamarannya sebagai tenaga administrasi diterima di kantor dinas Pendidikan& Kebudayaan. Persoalannya, siapa yang akan menjaga anak-anaknya selama ia di kantor?
Mencari solusi, ia datangi Kak Ati, tetangga terdekatnya. Minta tolong Kak Ati mengawasi anak-anaknya. Hanya mengawasi. Aini memastikan makanan sudah ia siapkan sebelum berangkat. Dan anak-anak pasti sudah ia mandikan. Alhamdulilah, Kak Ati setuju. Lagipula, anaknya juga sering bermain dengan anak-anak Aini. Satu masalah selesai. Walau Aini harus merelakan sebagian gajinya nanti untuk membayar jasa Kak Ati.
Alhamdulillah semua berjalan baik. Bahkan Aini diizinkan bosnya menawarkan dagangan baju ke teman-temannya saat jam istirahat. Hingga beberapa bulan kemudian, ia melihat memar di kening Fadhil. Kak Ati tidak bisa memberi penjelasan apa-apa. “Aku kan juga ga bisa ngeliatin anak musetiap detik!” katanya ketus ketika Aini terus bertanya. Aini terdiam. Ia mengompres kening anaknya, dan berusaha melupakan masalah ini.
Tapi beberapa minggu kemudian, kata-kata Kak Sembiring, tetangganya, mulai mengganggunya.
“Aku ga mau cerita ya. Cukuplah kubilang, berhenti saja kau kerja. Kau urus anakmu 3 orang itu.”
Aini hanya tersenyum mendengar kata-kata Kak Sembiring itu. Walau hatinya berdentam keras penuh tanya. Apa yang dilihat Kak Sembiring?
“Kau pikir-pikirlah nasehatku. Ini sudah tiga kali aku nasehatkan kau.” Kak Sembiring mencubit pipi Fadhil lembut dan berlalu. Aini mengangguk sebagai ucapan terimakasihnya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apa yang dialami ketiga anaknya selama ia di kantor?
Bersambung…
Cerita sebelumnya di https://intankd.wordpress.com/2018/12/03/gusti-allah-mboten-sare-v/
1 comment