
“Ngopo kowe nduk? Kok murung?” Mbak Sastro bertanya heran. Aini singgah ke rumahnya sepulang dari mencuci di sungai, menjemput anaknya. Rumah simbah dekat dengan sungai, dan ia sayang pada anak-anak kecil, termasuk pada anak-anak Aini. Aini kadang menitipkan anak bungsunya ke Mbah Sastro saat cuciannya sedang banyak.
“Suami saya ngilangin motor bosnya mbah. Belum ketemu sampai sekarang.” Aini menjawab pelan.
Mbah Sastro mengalihkan pandangannya ke kejauhan. Mulutnya komat kamit sejenak. Lalu ia tertawa pelan. “Ojo khawatir nduk. Montor itu masih di sini. Ga akan bisa kemana-mana. Nanti pasti ketemu.”
Aini menatap Mbah Sastro heran. Ia ingin bertanya lagi. Tapi rengekan anaknya membatalkan niatnya. Sudah minta pulang. “Iya Mbah, suwun. Do’akan ketemu ya mbah,” pamitnya.
Aini mengangkat ember cuciannya dan menggandeng tangan anak bungsunya pulang. Di jalan, bibirnya tak henti berzikir meminta pertolongan dari Dia Yang Maha Kaya. “Ya Allah, sungguh motor itu sangat berarti buat kami. Dan mudah bagiMu untuk mengembalikannya pada kami. Tolonglah kami ya Allah,” bisiknya pelan.
===
Besok paginya, Fendi kembali ke kantornya. Siapa tahu, ada yang menemukan motor itu dan mengantarnya ke kantor. Ini kota kecil. Belum banyak orang yang memiliki kendaraan bermotor. Orang-orang umumnya hapal siapa pemilik kendaraan tertentu. Tapi harapannya nihil. Ia malah ditanyain Pak Said, “Sudah ketemu?”
Tiba-tiba, “Pak… Bapaaaak!” Seorang anak laki-laki usia 12 tahun berlari memasuki kantor. Anak Pak Said.
“Pak, aku lihat motor bapak. Diparkir di halaman puskesmas!”
Reflek, Fendi berlari keluar ruangan. Puskesmas yang dimaksud tidak jauh dari kantor ini. Anak Pak said menyusul dengan menggenjot sepedanya. Pak Said menyusul dengan mengendarai motor salah satu stafnya.
Jantung Fendi berdebar kencang melihat motor yang dikenalnya benar-benar terparkir di halaman puskesmas. Ia tambah gembira ketika melihat kunci motor itu tergantung di tempatnya. Walau heran, Ia putar kuncinya, coba menyalakan, hidup. Dengan gembira, ia kendarai motor itu ke kantor. Pak Said menyusul di belakangnya.
Tak ada yang pernah tahu, siapa yang mengambil motor itu dari rumah Pak Kadir, dan kemudian meminggalkannya begitu saja di halaman Puskesmas. Polisipun menghentikan penyelidikannya. Yang penting buat Fendi, ia bisa mengembalikan motor pinjamannya kepada yang punya, dan kembali fokus mencari nasabah asuransi. Sejak itu, ia kapok meminjam barang milik orang lain.
===
Aini tak menyangka, bolu buatannya laku keras. Setiap pagi, dengan mengayuh sepeda, Ia menitipkan seloyang bolu di warung kopi dekat lapangan pacuan kuda. Siang, alhamdulillah sudah habis. Aini menggunakan sebagian keuntungannya untuk belanja dapur, sebagian ia tabung untuk keperluan anak pertamanya yang akan masuk SD, sebagian lagi ia simpan untuk menambah modal. Walau
nominalnya sedikit, Aini disiplin melakukannya. Ia menghargai setiap rupiah yang diperolehnya.
Warung kopi itu buka dari pagi sampai malam. Mungkin, ia bisa membuat dan mengirimkan bolunya dua kali sehari. Pagi dan siang. Namun rencana tidak selalu berjalan mulus. Sudah hampir seminggu ini bolunya selalu bersisa banyak. Kemarin malah lebih dari separuh. Apakah ada yang salah?
Aini ingin mendiskusikan hal tersebut dengan pemilik warung. Siapa tahu ada keluhan dari pelanggan. Maka kali ini ia berangkat ke warung sebelum jam makan siang. Berharap pemilik warung belum terlalu sibuk dan punya waktu sedikit untuk berbincang dengannya.
Alangkah herannya Aini melihat bolunya tidak ada di etalase warung. Ada bolu serupa, tapi melihat bentuknya, Aini yakin itu bukan buatannya. Wadahnya juga bukan miliknya. “Mamak mana?” tanyanya pada anak pemilik warung. “Di belakang,” jawabnya singkat.
Aini bergegas ke bagian dalam warung. Menemukan si pemilik warung sedang beristirahat di sana. Yang membuat Aini terkejut, wadah bolunya ada di situ. Bahkan belum dibuka sama sekali.
“Bolu saya ga dijualkan, Kak?” tanyanya gemas.
“Oh, kebetulan kamu datang,” jawab pemilik warung tenang. “Kakak dah mau bilang dari kemarin-kemarin, tapi ga sempat. Kamu bawa pulang aja ya bolunya. Kakak udah ada bolu sendiri.”
Aini beristighfar, menahan marahnya. Jadi ini maksud si pemilik warung menanyakan resep bolunya dua minggu yang lalu? Waktu itu, Aini menceritakan resepnya tanpa curiga. Tak disangka, si pemilik warung melakukan hal ini padanya. Berhenti menjualkan bolunya dan membuat bolu sendiri.
Tanpa banyak bicara lagi, Aini mengambil bolunya dan bergegas pulang. Hatinya sakit. Tapi ia menahan perasaannya. Ia harus mencari jalan lain lagi. Satu pintu tertutup, pintu lain akan terbuka. Ia yakin itu.
Bersambung…
Cerita sebelumnya ada di https://intankd.wordpress.com/2018/11/28/gusti-allah-mboten-sare-iv/
1 comment