Fendi memarkir motornya di halaman rumah Pak Kadir. Lebih tepatnya, motor pinjaman. Pinjaman dari Bosnya di kantor. Pak Said, bosnya itu, berasal dari Langsa, dan mengenal keluarganya dengan baik. Fendi tahu, bagaimanapun ia harus berterimakasih pada ayahnya. Berkat reputasi ayahnya yang sangat bagus, Pak Said bukan saja bersedia menerimanya sebagai agen Bumi Putra. Beliau bahkan meminjamkan motornya hampir setiap hari. Memudahkan Fendi untuk berkeliling mencari nasabah. Seperti sore ini, mengunjungi Pak Kadir.
Pak Kadir terlihat tertarik dengan pemaparan Fendi mengenai manfaat asuransi. Fendi yakin sekali, Pak Kadir akan menjadi nasabahnya. Namun sebelum sempat ia mengajukan dokumen yang perlu diisi, Adzan magrib terdengar berkumandang.
“Sudah adzan Dik. Kita ke masjid dulu yuk,” kata Pak Kadir.
Fendi mengangguk. Ia merapikan berkas-berkasnya. Lalu berjalan beriringan dengan Pak Kadir menuju masjid. Sholat berjamaah. Do’a yang khusu’ ia panjatkan. Rezeki yang halal dan perlindungan dari Allah ia harapkan.
Selesai sholat, mereka kembali berjalan pulang ke rumah Pak Kadir. Sampai di halaman rumah, Fendi terkejut. Motor pinjamannya tak ada! “Motor saya hilang, Pak!” katanya panik. Pak Kadir terkejut. “Eh, iya. Kemana ya?”
Fendi lari keluar halaman. Mencari-cari motor Pak Said dengan matanya. Pak Kadir menyusul dengan motornya. Ia menyuruh Fendi naik ke boncengan. Berdua, mereka menyusuri jalanan mencari motor yang hilang. Hasilnya, nihil. Pak Kadir menyerah. “Besok kita cari lagi ya. sekarang kita lapor polisi aja dulu.”
Fendi mengangguk lemah. Hatinya galau.

===
“Ya, saya pastinya minta motor saya diganti, Dik.” Pak Said menatap Fendi yang menunduk di depannya.
“Insya Allah saya ganti Pak. Mohon kasih saya waktu.”
“Berapa lama? Saya ga bisa lama-lama Dik. Saya kan pakai juga motornya. Saya pinjamin kamu, untuk cari nasabah. Ini, nasabah belum dapat, motor malah hilang. Cuma kamu lho, agen yang saya pinjamin motor. Ini karena saya tahu sama bapak kamu.”
Fendi diam tak menjawab. Pak Said melanjutkan, “Saya kasih waktu seminggu dek. Tolong diganti motor saya. Yaa, kecuali kalau polisi bisa menemukan motor saya.” Pak Said menepuk pundaknya. “Kenapa ga telpon saja ayahmu? Kan pasti beres sama beliau.”
Fendi tetap diam. Dalam hati ia tahu, itu bukan pilihan. Ia akan disuruh pulang. Sementara ayah ibunya tak pernah bersikap baik pada Aini. Terakhir kali ia membawa keluarganya berkunjung, ayahnya tak sudi duduk semeja dengan Aini. Ia bahkan menyuruh Aini makan di belakang bersama para pembantu, menggunakan peralatan makan pembantu. Fendi tak akan sanggup melihat hal yang sama terjadi lagi.
Ia pamit dari kantor. Kembali berjalan kaki menyusuri jalanan, berusaha mencari motor yang hilang itu. Tadi pagi-pagi sekali ia sudah singgah ke rumah Pak Kadir. Siapa tahu ada yang mengembalikan motornya. Tapi harapannya pupus. Hanya motor Pak Kadir yang ada di halaman. Begitupun, kata-kata Pak Kadir membesarkan hatinya. “Motor itu pasti belum pergi jauh. Masih ada harapan untuk ditemukan.”
Namun sampai malam, motor itu belum ia temukan juga.
Bersambung..
Gambar dari id.kisspgn.com
Cerita sebelumnya ada di:https://intankd.wordpress.com/2018/10/12/gusti-allah-mboten-sare-iii/
1 comment