“Tidak, tolong, jangan bunuh aku. Aku masih mau hidup,” ratap Jonal mengiba. Kegarangannya sirna sudah. Kalah oleh sosok cantik mengerikan di depannya.

Suzzanna bergeming. Tatapannya tajam menusuk jantung. Siap membunuh orang terakhir yang tersisa di hadapannya.
Jonal masih berusaha memutar otak mencari selamat. “Kalau kau bunuh aku, kau akan berpisah selamanya dari Satria. Kau akan meninggalkan dunia ini selama-lamanya,” katanya membujuk.
Suzzanna berhenti. Kata-kata itu terlihat mempengaruhinya. Keberadaannya di dunia ini–walaupun sebagai sundel bolong-semata-mata karena masih punya urusan yang belum selesai. Ia harus membalas dendam pada orang-orang yang menyakitinya. Yang membunuh janin dalam kandungannya. Yang mengubur dirinya hidup-hidup. Yang menghancurkan kebahagiaannya. Bila urusan itu selesai, selesai pulalah waktunya. Ia tak bisa bertahan lagi di sini. Waktunya habis. Menyisakan satu orang terakhir, Jonal, mungkin bisa menjadi penahan langkah kakinya melangkah ke alam berikutnya. Hingga ia tetap bisa di sini, membersamai Satria, suaminya tercinta.
Namun pikiran itu hanya selintas mengganggunya. Cintanya pada Satria, menyadarkannya. Jonal baru saja gagal membunuh Satria. Tak diragukan lagi, ia pasti akan mencoba lagi. “Kalau kau masih hidup, suamiku tidak akan pernah aman,” katanya tegas. Suzzanna bergerak. Kembali memburu Jonal. Menghabisinya dengan sadis. Sekaligus menghabisi waktunya sendiri. Meninggalkan Satria, demi Satria.
Film Suzzanna Bernapas Dalam Kubur, adalah cerita tentang cinta. Cinta seorang Gino yang ingin ibunya sembuh sampai rela merampok. Cinta seorang Umar yang ikut merampok demi memastikan Suzzanna akan baik-baik saja, namun justru berakhir dengan menguburkan ‘kekasihnya’ hidup-hidup ketika keselamatan diri jadi taruhannya. Cinta sepasang suami istri yang tak luntur walau bertahun-tahun tak dikaruniai buah hati. Cinta Suzzanna yang berjanji setia menunggu Satria kembali dari dinas di luar negri. Cinta Satria yang memilih percaya pada Suzzanna daripada orang lain. Cinta selamanya, sampai mati.
Menonton film ini, terasa bahwa kematian bukan saja berat bagi mereka yang ditinggalkan. Tapi juga berat bagi mereka yang harus meninggalkan. Meninggalkan harta benda, meninggalkan orang-orang terkasih. Suzzanna tak mau pergi. Ia ingin selamanya menikmati kebahagiaan bersama Satria. Ini mengingatkanku pada tulisan di sebuah buku: Jika kita rela meninggalkan apa-apa yang kita cintai di dunia ini, perjalanan ke alam berikutnya akan lebih mudah. Sebaliknya, kalau kita berat meninggalkannya, berat dan sulit pula perjalanan itu bagi kita.
Tapi bukan hanya tentang cinta dan sakitnya perpisahan, film ini juga menghadirkan kekonyolan-kekonyolan yang mengundang gelak tawa penonton di studio. Terutama dari tingkah polah tiga orang pembantu Suzzanna. Benar-benar mengimbangi sadisnya pembalasan dendam Suzzanna pada musuh-musuhnya.
Tontonlah. Ini film yang nyaris lengkap. Horor, komedi, drama, jadi satu. Salut pada penampilan dan suara Luna Maya yang benar-benar mirip dengan almarhumah Suzzanna. Juga bisa bernostalgia dengan suasana tahun 1980-an yang benar-benar dihadirkan melalui semua properti film. Rumah, mobil, taksi, kompor, ceret, dan pernak pernik detil lainnya. Saya keluar dari gedung bioskop benar-benar dengan perasaan terhibur.
Gambar dari m.21cineplex.com