Di masyarakat, ada kecenderungan setiap ada peristiwa alam yang menimbulkan korban harta benda atau jiwa, selalu dihubung-hubungkan dengan azab Allah. Bahkan ketika korban masih berjuang keras menyelamatkan diri dan orang-orang yang dicintainya, opini seperti itu sudah beredar luas.
Padahal, etika dan aturannya, seharusnya semua pihak bahu-membahu mendatangi tempat kejadian peristiwa untuk memberikan pertolongan secepat-cepatnya. Mengorganisasi dan mengirim bantuan. Atau, minimal, memanjakan doa.
Peristiwa Alam
Gejala terpenting yang melekat pada alam adalah gerak. Dari gerak itu lahirlah perubahan terus-menerus. Dan perubahan apapun selalu memakan “korban”. Musim panas, banyak tumbuhan yang mati dan terbakar, ada wilayah tertentu yang kekeringan. Gelombang panas kadang menyebabkan kematian.
Musim hujan, petambak garam kesulitan berproduksi. Penjual es kehilangan sebagian besar pendapatannya. Ada banyak orang basah kehujanan. Ada rumah-rumah kebocoran. Ada yang kena flu dan panas dingin. Ada yang kehilangan nyawa karena tersambar petir.
Tapi karena terjadi saban tahun, pikiran kita sudah menerima sepenuhnya sebagai sesuatu yang biasa. Tak ada lagi ruang renung yang tersisa buat membangun opini-opini negatif.
Gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi juga begitu. Ada besar ada kecil. Sehingga ada yang terasa, ada tidak terasa. Di suatu tempat tidak terjadi, di tempat lain terjadi. Seperti hujan, bisa diramalkan tapi tak bisa dipastikan.
Jika gempanya besar, getarannya juga besar. Pada tingkat tertentu dapat merobohkan rumah-rumah dan gedung-gedung. Menimbulkan tsunami dan likuifaksi. Sehingga korban jiwa biasanya tak terhindarkan.
Peristiwa-peristiwa seperti itu terjadi murni karena mengikuti hukum-hukum alamiahnya. Tak ada hubungannya dengan dosa, agama, ideologi, dan politik. Bisa terjadi kapanpun, dimanapun, dan terhadap siapapun. Hukum-hukum itulah yang dipelajari, diketahui, dan dirumuskan menjadi sains. Agar pada kejadian berikutnya korban bisa diminimalisir. Atau energi yang ditimbulkannya bisa diubah menjadi bentuk-bentuk energi lain yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.
“Tak ada bencana yang terjadi di bumi dan pada dirimu, kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuz) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kalian tidak bersedih atas apa yang luput darimu, dan tidak bergembira atas apa yang Dia berikan kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang sombong dan membanggakan diri.” (QS.57: 22-23)
Azab Allah
Secara bahasa, azab artinya hukuman. Dan karena hukuman pada umumnya membuat orang yang terhukum merasa tersiksa, maka kata azab dalam Kitab Suci kadang diartikan sebagai siksaan.
Sebagai hukuman, azab tentu berdasarkan hukum. Sementara hukum sendiri adalah tata aturan yang dibuat berdasarkan prinsip-prinsip keadilan. Ulangi lagi: berdasarkan prinsip-prinsip keadilan. Sehingga yang dikenai hukuman hanyalah orang yang melanggar aturan tersebut sesuai dengan tingkat kesalahannya.
Bila hukuman juga dikenakan kepada mereka yang tidak bersalah, maka itu bukan keadilan. Tapi kezaliman.
Itu sebabnya bukan hanya Allah yang mengazab. Tapi juga manusia. Hanya saja Alquran (2:49, 7:167, 14:6) menyebut hukuman Firaun kepada Bani Israil sebagai “su’ul-‘adzab” (seburuk-buruknya azab). Karena hukuman itu justru bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Yakni, Raja Mesir Kuno itu membunuh banyak anak-anak.
Hukuman Allah tidak mungkin bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Sebab Dia sendiri Maha Adil. Bila kita menisbatkan bencana alam kepada hukuman Alllah, berarti kita menyamakan Allah dengan Firaun. Bukankah yang korban akibat bencana alam tersebut justru banyak anak-anak, orang-orang tidak berdosa, dan tempat-tempat ibadah?
Betul, seperti diceritakan dalam Alquran, azab Alllah memang ditimpakan kepada kaumnya Nabi Nuh, kaum Ad, kaum Tsamud, kaumnya Nabi Luth, Nabi Syuaib, dan sebagainya. Tetapi di situ juga kita melihat bahwa hukuman Allah benar-benar berkeadilan. Hanya yang bersalah yang dihukum. Semua yang tidak bersalah diselamatkan.
“Dan ketika hukuman Kami datang, Kami selamatkan Hud dan orang-orang beriman bersamanya dengan rahmat Kami. Kami selamatkan (pula) mereka (di akhirat) dari azab yang berat.” (QS.11: 58)
Tak akan Ada Azab
Selain Maha Adil, Allah juga Maha Pengampun dan Maha Penerima Taubat. Sehingga seandainya pun seseorang atau suatu kaum melanggar hukum-Nya, Allah tidak dengan serta-merta mengazabnya.
Bagaimanapun besarnya dosa para pendosa, Allah melarang mereka berputus asa dari Rahmat-Nya. Artinya Allah akan tetap membuka pintu ampunan dan pintu taubat yang seluas-luasnya (39:53).
Itu sebabnya, selama masih ada salah satu dari dua syarat berikut ini pada manusia, maka selama itu pula azab Allah tidak akan datang. Yaitu, nama Nabi Muhammad masih disebut, dan masih ada yang memohon ampun (istighfar).
“Allah tidak mungkin menghukum mereka, selama engkau (Muhammad) berada di antara mereka. Dan tidak mungkin (pula) Allah menghukum mereka, sedang mereka (masih) memohon ampunan.” (QS.8: 33)*