“Boleh makan di sini?”
“Boleh bu,” jawabku sigap. Aku sendiri sudah sering memakan bekal sarapan buahku di sini, ruang pendaftaran pasien rawat jalan RS Fatmawati.
Ia membuka kotak bekalnya. Isinya nasi, lauk, dan sayur asem dalam plastik. “Orang tua harus banyak makan sayur,” katanya sambil menuangkan sayur asemnya. Kuangsurkan tisu padanya. Obrolan kami pun berlanjut.
Tangannya patah tahun lalu. Sudah dioperasi dan sudah pasang pen. Hari ini ia datang untuk menanyakan nyeri yang mulai terasa mengganggu. “Datang sama siapa bu?” tanyaku.
“Sendiri.”
“Naik apa?”
“Angkot.”
Aku memandangnya kagum. Kutaksir usianya sekitar 60-an akhir. Ia setangguh dan seberani ibuku. Pergi sendiri dalam sakitnya.
“Anak ibu berapa?” tanyaku lagi.
“Lima.”
Ibu cantik di sebelah kananku menyeletuk. “Lima itu sekarang tinggal angka saja ya bu. Kalau sudah pada besar, kita kembali lagi sendiri.”
Sebagai anak, aku merasa tertonjok mendengarnya. Mengingat sedikitnya waktu dan perhatian yang kuberikan untuk kedua orangtuaku.
Sang ibu tua menutup kotak makannya. Menyelesaikan makannya. “Anak-anak pada kerja. Kasihan kalau cuti terus ngantarin kita. Kalaupun bisa ngantar, kasihan. Pasti lama ngantrinya.”
Ia merapikan isi tasnya. Seperti aku yang merapikan hatiku mendengar pengertiannya.
“Kalau mereka yang sakit, saya juga udah ga bisa nungguin. Ini anak perempuan saya juga baru sakit. Di Kebumen. Dia dokter, padahal. Ke saya siy ga ngeluh sakit. Cuma bilang lagi ada sel-sel yang nakal di tubuhnya. Tolong do’akan ya bu, agar sel-selnya jadi soleh.”
Aku terdiam. Terkesan dengan pilihan kata yang digunakan.
“Dia kuat sekali. Tabah,” lanjut si ibu. “Saya yang sedih. Tapi dia bilang, ibu jangan sedih. Saya kan lagi dikasih hadiah sama Allah. Insya Allah jadi jalan untuk menghapus dosa-dosa.”
Aku tertegun. Hadiah dari Allah? Tak pernah terpikirkan olehku untuk mengasosiasikan penyakit dengan hadiah.
Dalam diam aku mendengarkan cerita sang ibu. Tentang putrinya yang sudah jadi yatim di usia Sekolah Dasar. Yang hidup prihatin untuk bisa sekolah dan kuliah. “Kalau siang beli nasi bungkus, ya dibagi dua. Setengahnya lagi untuk dimakan malam. Alhamdulilah bisa jadi dokter.”
Aku menghatur salut.
“Tapi dokter juga bisa sakit ya,” ia tertawa kecil. “Untunglah suaminya baik dan sabar. Padahal dulu kenal sama suaminya ini cuma sebulan. Trus nikah. Sebelumnya pacaran lama sama orang lain. 6 tahun. Eh, diputusin. Ditinggal nikah. Wah, patah hati anak saya waktu itu. Nangis terus. Tapi saya bilangin, mungkin mau dikasih yang terbaik sama Allah. Alhamdulilah benar begitu.”
Si ibu bergegas berdiri. Gilirannya hampir tiba untuk ke loket. “Duluan ya Neng,” katanya sambil berlalu. Aku tak sempat mengucapkan terimakasih, atas pelajaran hidup yang ia bagikan pagi ini. Shalawat dan alfatihah aku sampaikan, semoga ia sehat kembali. Semoga putrinya juga sehat dan panjang umur. Amin..