Membaca kisah Mas Haryoko R. Wirjosoetomo tentang Social Engineering (3), aku jadi ingat pengalaman ku sendiri. Pengalaman memalukan yang tak terlupakan.
Waktu itu tahun 2004. Atau 2005? Lupa. Aku menenteng ranselku di punggung. Bersemangat hendak mengunjungi sahabatku di Bandung. Naik kereta api dari Stasiun Gambir.
Tiket sudah di tangan. Aku tersenyum. Bersyukur. Sebelumnya, kelas ekonomi adalah satu-satunya pilihan. Sekarang, setelah bekerja, kelas bisnis bisa jadi pilihan.
Kucari nomor gerbong sesuai tiket. Itu dia. Aku masuk dengan hati ringan. Tak perlu terburu-buru. Masih banyak waktu.
Kuletakkan ransel di atas. Dan mulai duduk dengan nyaman. Kuperhatikan sekeliling. Wah, bagus sekali kereta bisnis ke Bandung ini, pikirku. Tersedia bantal mungil di kursi. Juga selimut bersih yang masih terbungkus plastik. Kereta bisnis ke Yogya tidak sebagus ini. Puas memperhatikan, aku mulai membaca buku yang memang kupersiapkan sebagai teman perjalanan.
Baru sebentar membaca, terdengar suara yang mengangetkanku. “Maaf Mbak, sepertinya ini kursi saya?”
Aku mengangkat wajah. Seorang gadis dengan pria yang kuperkirakan adalah ayahnya sudah berdiri di dekat ku. Aku diam sejenak, meyakinkan diri bahwa aku adalah yang diajak bicara.
“Eh, ini kursi saya kok,” jawabku. Kuambil kembali tiket yang tadi kusimpan di tas tanganku. Menyamakan nomor yang tertera di sana dengan nomor kursi yang kududuki.
“Wah, kok bisa ya?” Si gadis memandang tiketnya, lalu memandang nomor kursiku. “Panggil petugasnya aja mbak,” saranku (berusaha) sopan. Tapi dalam hati aku merasa yakin benar. Malah sempat berpikir, jangan-jangan si mbak cantik membeli tiket dari calo. Dan entah bagaimana, dapat tiket dengan nomor duplikat.
Petugas datang bersama ayah si gadis yang menjemputnya. Setelah mendengarkan permasalahan yang terjadi, dengan sopan ia meminta tiketku dan tiket si mbak cantik. Memperhatikan keduanya, lalu dengan ramah berkata kepadaku, “Mbak, ini nomor kursi dan gerbongnya memang benar. Tapi ini untuk kelas bisnis. Sedangkan ini adalah gerbong eksekutif.”
Dueeeer…!!!
Kata-kata yang diucapkan dengan sopan itu bagai petir yang menghantam harga diriku. Aku terjerembab jatuh dalam kubangan malu. Rasanya ingin tenggelam dan menghilang dari pandangan mereka bertiga. Aphaaaaa??? Tiket kelas bisnis tapi malah merebut kursi orang di kelas eksekutif???
Dengan buru-buru aku mengambil tas tangan dan ransel ku. “Waduh, maaf mbak, maaf Pak,” kataku malu dan berlalu.
Jawaban mereka yang ramah semakin terasa menonjokku. Buru-buru aku keluar gerbong dan mencari gerbong bisnis, tempatku yang seharusnya. Begitu menemukannya, kuhempaskan tubuhku di kursi. Kututup mataku. Kutenangkan diri.
Perlahan, kubuka mataku. Bagai takut melihat wajah-wajah yang akan mentertawakan kebodohanku. Kembali kupandangi sekeliling. Keadaannya sama dengan gerbong bisnis ke Yogya. Tidak ada bantal, tidak ada selimut. Duh, kok bisa aku tadi tidak memahami kenyataan ya? Malah menganggap orang lain yang salah. Baru aku fahami, mengapa gerbong tadi terlihat lebih bagus daripada kelas bisnis yang pernah kunaiki. Lha wong kelas eksekutif jeee. Duuuh malunya…
Nah, apakah teman-teman pernah punya pengalaman yang memalukan dan tak terlupakan?