“Gapapa ya Sayang.. Insya Allah 2-3 hari lagi sudah bisa duduk.”
Begitu kata papa, memberi semangat pada istri tercintanya yang lelah berbaring di rumah sakit.
“Amin…” jawab mama lirih.
Papa menggeser kursi rodanya mendekat. Tangannya diulurkan ke pagar tempat tidur. Mama meraih tangan itu dan menggenggamnya erat.
“Nanti Elly yang lebih duluan bisa jalan dari saya,” sambung papa.
Mama diam. Hanya genggaman tangannya tak dilepas. Aku tahu, andai energinya sedang berlimpah, ia akan menjawab bahwa ia pun ingin papa bisa berjalan kembali.

Papa hampir selalu romantis. Kata-katanya manis di hati. “Satu hari rasa 100 tahun,” katanya ketika absen sehari mengunjungi mama di rumah sakit.
Pernah, seorang kasir di sebuah rumah sakit bertanya padaku, “Berapa usia bapak ibunya mbak?”
“Kenapa?” tanyaku heran.
“Romantis banget, saya jadi terharu lihatnya.”
Aku menoleh. Melihat kedua orangtuaku yang saling menyuapkan makanan kecil, dari kursi roda masing-masing. Aku tersenyum. Mereka ga tahu aja kalau keduanya lagi marahan di usia senja ini. Suaranya akan keras membahana sekian oktaf.
Tapi tentu saja mereka akan membela diri. “Mama ga marah kok. Papa aja kupingnya dah ga dengar. Jadi keraslah suara mama.”
Alasan yang sama diucapkan papa. “Mama ga dengar apa yang papa bilang. Dah sombong kupingnya tu.”
Maka kami pun harus membiasakan diri bila sekali-sekali oktaf suara mereka berdua meningkat.
Pandanganku kembali ke genggaman tangan kedua orangtuaku. Genggaman ini, semoga menghangatkan hati. Menggelorakan semangat. Memberi mama kekuatan untuk kembali masuk ruang operasi hari ini. Operasi ke-5 nya dalam 18 bulan ini.
Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ali Muhammad.