“Kalau bukan karena sakit, mungkin mama ga akan pernah merasakan pijatan Intan ya.”
Aku tertegun.
“Semua sudah ada yang mengatur,” lanjut ibuku. Ia tersenyum. Memandangi aku yang kembali mengoleskan balsem ke kakinya. Kali ini kaki kanan. Dan melanjutkan pijatanku.
41 tahun usiaku. Kulewatkan tanpa pernah sekalipun memijat ibuku. Bagaimana bisa? Pikirku galau.
“Waktu kalian kecil, mama selalu tidur belakangan,” kata ibuku, seolah bisa membaca pikiranku. “Setelah kalian besar, mama yang jatuh tertidur sebelum kalian.”
Aku masih diam. Hanya jari-jari ku yang terus bergerak. Mencoba menghilangkan pegal yang dirasakan ibu, karena kedua kakinya nyaris tak bergerak seharian. Ah, andai aku sekuat Samson-nya Delilah, akan kugendong ibu kemana saja ia perlu melangkah. Kenyataannya, jauh panggang dari api.
Aku tahu, ibu bukan sedang menyalahkan aku. Ia hanya sedang berusaha menerapkan nasehat seorang ustadz kepadanya, untuk membiarkan anak-anaknya merawat dan membantunya, terutama ketika ia sedang sakit seperti sekarang. Tidak mudah baginya. Ia merasa menjadi beban. Ia merasa menyusahkan.
Tiba-tiba putri kecilku mengetuk pintu. “Mama, kakiku pegal. Karena tadi waktu olahraga disuruh begini sama kakak guru,” katanya sambil memperagakan gerakan yang dimaksud.
“Jadi mau dipijat?” tanyaku.
“Iya,” angguknya.
“Ya sudah, sini naik ke dekat nenek,” jawabku. Zahra mengambil tempat di dekat neneknya. Kedua kaki diselonjorkannya ke arahku. Dengan tangan kanan, kupijat kakinya. Tangan kiri masih setia memijat kaki ibuku.
“Tapi sebenarnya aku lebih suka dipijat papa,” kata Zahra.
“Lebih enak?” tanyaku berkecil hati.
“Iya,” katanya jujur. “Gimana ya, cara papa mijatnya. Aku lupa. Nggak bisa ngasih tahu mama.”
Aku menyerah. “Ya sudah, nanti minta dipijat sama papa aja ya kalau papa sudah pulang. Tapi…dulu waktu kecil, mama lho yang mijatin kakek,” kataku.
Dulu waktu seumur Zahra, aku memang sering memijat ayahku. Dan beliau selalu memuji pijatanku. Maka aku tumbuh jadi anak yang PD bahwa jari-jariku ini pandai memijat. Sampai kemudian aku menikah dan menemukan kenyataan pahit (Duh!). Suamiku tertawa ketika aku memijatnya. “Gak terasa,” katanya. Haaaa?? Bagaimana bisa?? Tak percaya rasanya. Hancur berkeping-keping kebanggaan dan harga diriku sebagai tukang pijat ayah.
“Kalau begitu, aku saja yang dipijat,” kataku sebal. Dan olalaaa… ternyata, pijatan suamiku jauh lebih enak dari tukang pijat manapun yang pernah kucoba. Maka tak ada pilihan lain. Aku ikhlas, pasrah dan tidak protes dengan penilaiannya. Dan Aku mulai mengerti, bahwa pujian ayahku dulu, mungkin diberikan untuk menyenangkan hati putri kecilnya. Dan nyatanya, aku memang senang. Ingin memijatnya lagi. Lagi dan lagi.
Dan aku melupakan ibuku. Tak pernah aku memijat tangannya yang lelah menyiapkan makanan dan menjahitkan pakaian untukku. Tak pernah aku memijat kakinya yang melangkah kesana kemari mengurus keperluanku. Tak pernah kupijat pundaknya yang menanggung beban berat putra-putrinya.
Ah, ibu, maafkan aku. Dan ketika sekarang kupijat kakimu, adakah membantumu menjadi lebih nyaman?
Tiba-tiba aku ingin sekali, ingin bisa menjadi tukang pijat yang handal untuk ibuku.