Sore hari. Aku dan suami merasa lapar. Kami hendak berbelanja sebenarnya. Tapi daripada nanti tidak tenang ketika berbelanja, kami berbelok ke food court mencari jajanan dulu. Nah, itu ada kedai mie ayam. Suamiku mendekat. “Pesan mie ayam ya mbak,” katanya. “Ga usah pakai ayam”, sambungnya lagi.
Mbak penjaga kedai memberi suamiku pandangan aneh.
“Disini ga bisa ga pakai ayam Pak. Semua pakai ayam,” sahutnya.
Gantian suamiku yang memandangnya heran. “Kan tinggal ga usah naruh ayamnya mbak. Sayurnya aja.”
“Ga bisa Pak. Bapak ke tempat lain aja kalau mau begitu,” katanya tegas.
Suamiku terlihat kesal. Ia masih berusaha mencoba mendapatkan yang ia mau, mie ayam tanpa ayam. Tapi aku mulai melipir, mengedarkan pandang mencari kedai mie ayam lain. Begitu menemukannya, aku langsung mendekat. ”Pak, mie ayamnya ada?” tanyaku.
“Ada Mbak.”
“Bisa ga pakai ayam?”
“Sayur aja? Bisa mbak. Ada sawi. Taoge mau?”
“Mau,” jawabku.
“Jamur?”
“Ga usah pakai jamur,” jawab suamiku. Rupanya ia sudah disampingku.
“Dua mangkok Pak,”pesanku. “Satu pakai jamur, satu ga pakai jamur.”
“Baik Mbak,” jawabnya. Nah, kan, begitu mudahnya.
Kami pun mencari tempat duduk tak jauh dari kedai mie ayam kedua ini. Lalu tertawa kesal mengingat si mbak dari kedai mie ayam pertama. Tak mengerti, mengapa ia tak bisa menerima pesanan customized begini? Ini bukan kali pertama suamiku membuat pesanan begini, baik di kedai pinggir jalan maupun restoran di mal. Ia biasa memesan mie ayam tanpa ayam, bubur ayam tanpa ayam, nasi goreng ayam tanpa ayam. Dan belum pernah ditolak. Kalau lagi beruntung, ia bahkan bisa menerima tambahan sayuran sebagai pengganti ayam yang tidak dicampurkan.
“Begitulah kalau hidup terlalu lurus,” kata suamiku. Ia masih jengkel. “Ga bisa fleksibel. Ga bisa menyesuaikan dengan kondisi. Akhirnya calon pelanggan pun hilang.”
“Mungkin dia bukan pemilik kedai itu,” jawabku. “Jadi ga punya rasa memiliki. Santai saja membiarkan pembeli pergi.”
Aku mengingatkan suamiku ketika ia hendak memesan gado-gado tidak pedas di sebuah rumah makan di Cinere. Pelayannya mengatakan bahwa bumbunya sudah dibuat standard. Namun sebelum kami memutar tubuh meninggalkan rumah makan itu, seorang ibu setengah baya menghampiri kami. ”Bapak mau gado-gado tidak pedas?” tanyanya. Suamiku mengangguk. ”Baik Pak, saya buatkan bumbu tidak pedas untuk Bapak. Silahkan duduk dulu,” katanya.
Suamiku senang. Dan semakin senang ketika gado-gado yang dihidangkanpun enak rasanya. Si ibu ternyata adalah pemilik rumah makan itu. Tak heran ia bisa melayani pembeli dengan lebih baik. Akhirnya kami juga membeli 8 bungkus keripik tempe yang tersedia di situ.
Tapi aku sendiri lalu teringat pada pengalamanku membeli air mineral galon. Dulu, waktu masih kuliah di Yogya. Aku membawa galon kosong VIT ke warung terdekat. “VIT nya habis, dek,” kata pemiliknya. “Tinggal Aqua yang ada”.
Aku pun pergi menuju warung berikutnya. Jawaban sama kuterima. Tidak ada VIT. Yang ada Aqua. Tapi pemiliknya menawarkan solusi yang menggembirakan aku yang sudah berjalan kaki membawa-bawa galon kosong ini dari tadi. “Kalau Mbak mau, Mbak tinggalkan saja galon kosong VIT nya di sini. Saya kasih Mbak beli aqua galon. Nanti kalau sudah habis airnya, mbak bawa lagi galon kosong Aquanya kesini. Saya kembalikan galon VIT punya mbak,” katanya.
Wah, aku lega, setelah tadi membayangkan harus berjalan lebih jauh lagi untuk mencari setetes air di terik panas ini.
Aku tak pernah melupakan pengalaman ini, walau mungkin belum berhasil menirunya. Betapa pemilik warung ini menghargai setiap calon pelanggan yang datang. Begitu kreatif memberikan solusi bagi pelanggannya. Dan pada akhirnya, hal tersebut membawa keuntungan bagi dirinya sendiri.
Jadi, bukan masalah (benar-benar) pemilik atau (sekedar) pelayan atau karyawan. Tapi seberapa besar rasa memiliki terhadap usaha yang dijalankan. Seberapa besar rasa ingin melayani, rasa ingin memberikan solusi pada pelanggan atau pembeli. Aku jadi ingat dengan prinsip ‘Pembeli adalah Raja’. Tidak mudah menerapkannya ya, karena itu berarti merendahkan ego diri sendiri di hadapan orang lain.
Tak lama, mie ayam pesanan kami pun datang. “Enak,” kata suamiku setelah suapan pertamanya. Aku tersenyum. Tidak menyesal juga pindah ke sini kan?