gambar dari http://www.tribunnews.com/…/regional/view/323902/terompet-t…
Fadhil memperhatikan kakeknya yang sedang memotong serong bambu kecil di tangannya. Bambu itu lalu dibelah sedikit dan kertas kecil dimasukkan diantara belahan tersebut. Lalu kakeknya menggulung kertas karton hingga berbentuk seperti corong.
“Kenapa orang-orang merayakan tahun baru dengan meniup terompet Kek?” tanya Fadhil sambil mendekatkan kertas-kertas emas ke kakeknya. Ia tahu, kertas-kertas ini akan digunakan oleh kakeknya untuk menghias terompet itu.
“Kakek juga ga tahu, Fadhil,” jawab kakeknya.
Fadhil menimang-nimang kertas karton yang kini sudah berbentuk corong. “Tapi kamu ingat ga, dengan sangkakala?” tanya kakeknya.
“Sangkakalanya malaikat Israfil?”
“Iya. Setahu kakek, itu kan semacam terompet juga. Nanti ditiup oleh malaikat Israfil, dan semua makhluk akan mati. Iya kan?”
“Iya Kek, trus nanti malaikat Israfil akan tiup lagi, trus semuanya hidup lagi.”
“Nah, apa sangkakala itu yang mematikan dan menghidupkan semua makhluk?” tanya kakek sambil merekatkan kertas emas ke terompetnya.
“Ya ngga lah kek. Yang mematikan dan menghidupkan semua makhluk itu kan Allah,” jawab Fadhil tegas.
Kakeknya tersenyum. Senang hatinya. Tak sia-sia ia selalu menyuruh Fadhil ikut mengaji di masjid dekat kontrakan mereka. “Kalau begitu, apa guna sangkakala itu?”
Fadhil diam sejenak. Berpikir. “Kayaknya untuk penanda ya kek. Penanda dimulainya sesuatu. Tiupan pertama, penanda akan matinya semua makhluk. Tiupan kedua, penanda hidup laginya semua makhluk.”
Kakeknya menganguk-angguk. “Kakek setuju. Untuk penanda. Jadi mungkin ya itu sebabnya ada terompet di tahun baru. Untuk penanda berakhirnya tahun yang lalu, dan dimulainya tahun yang baru.”
Fadhil mengangguk. Ia selalu senang berbincang-bincang dengan kakeknya. “Sudah, kamu tidur sana. Biar kakek selesaikan ini dulu.”
“Aku mau nemanin kakek.”
“Kakek masih lama. Nanti kamu kemalaman. Hayo, besok katanya kamu mau ikut kakek jualan terompetnya!?”
Fadhil tak membantah lagi. Ia geser sedikit terompet-terompet di lantai sehingga ada sedikit ruang untuknya membentangkan tikar tipisnya. Ia terlelap tak lama kemudian. Tak sadar kakeknya memandang tubuh ceking cucunya dengan sedih. Sudah 1 minggu ini ia berjualan terompet. Namun hasilnya belum menggembirakan. Mungkin karena tahun baru masih lama, pikirnya. Mudah-mudahan besok nasib baik akan berpihak padanya. Harapan itu yang membuatnya tetap membuat terompet setiap malam, walau sambil menahan nyeri di lututnya.
===
Besok paginya, Fadhil heran melihat kakeknya masih duduk di satu-satunya kursi di ruangan itu. “Kakek ga jualan?” tanyanya heran.
Kakek meringis. “Lutut kakek benar-benar sakit. Kakek ga sanggup jalan, Fadhil. Besok saja kita jualannya ya? Mudah-mudahan besok sudah mendingan.”
Fadhil memandang terompet-terompet di lantai. Bukannya berkurang, terompet itu justru bertambah banyak karena kakek tetap membuat terompet setiap malam, walau yang laku terjual baru sedikit.
“Biar Fadhil yang jualin kek,” kata Fadhil.
“Jangan Fadhil, kamu masih kecil.”
“Gapapa, Fadhil bisa kek. Kan kemarin-kemarin Fadhil udah ngawanin kakek. Fadhil sholat dan mandi dulu, trus pergi ke taman, jualan.”
Fadhil bergegas ke kamar mandi, tak menunggu persetujuan kakeknya. Ia tahu uang kakeknya hanya cukup untuk makan hari ini. Ia harus berani.
===
Fadhil memandang anak-anak sebayanya yang sedang bermain di taman. Ia berharap anak-anak itu menoleh padanya dan melihat terompet warna-warninya. Ia sangat berharap semua terompetnya akan terjual habis hari ini.
Ia tak tahu, sebagian anak-anak itu memang sudah meminta orang tuanya membelikan terompet. Namun, gelengan kepala yang mereka dapat.
“Terompet itu budaya Yahudi,” sahut seorang ibu berbaju merah pada anaknya.
“Hush, kamu mau ketularan TBC dari terompet?” kata ibu yang lain.
Anak-anak itu dengan kecewa kembali bermain. Sampai kemudian orang tua mereka melambai dan mengajak mereka pulang. Dan Fadhil masih di situ. Dengan membawa harap di hatinya. Bahwa akan ada anak-anak lainnya yang akan datang ke taman dan membeli terompetnya. Untuk kakek. Demi kakeknya tersayang.
1 comment
Semoga umat semakin dewasa👍