“Aku di Banda Aceh. Dan aku menangis”
Begitu sms yang kuterima dari sahabatku. Ia salah seorang wartawan media terbesar di negri ini, yang bertugas di area liputan Sumatra Utara dan DI Aceh.
Aku membeku membaca sms itu. Temanku bukanlah seorang yang cengeng. Jauh, jauh dari cengeng. Kami berteman semenjak di kampus. Walau berbeda jurusan, kami sering bertemu dalam kegiatan-kegiatan Himpunan Mahasiswa Islam. Setelah bekerja, kami juga masih menjalin komunikasi, terutama karenakampung halamanku adalah salah satu area yang menjadi liputannya. Ia tentu melihat dan mengalami banyak hal dalam menjalankan tugasnya sebagai wartawan. Tapi baru kali ini kutahu ia menangis.
Dan wajarlah ia menangis. Dan (buatku) wajarlah Najwa Shihab menangis, walau seorang kenalanku menilai Najwa tidak profesional dengan tangisan di depan kamera TV itu. Tapi berapa banyak manusia yang mampu menahan guncangan hatinya melihat apa yang mereka lihat pada waktu itu? Tumpukan sampah bercampur tumpukan jenazah. Jenazah dari orang-orang yang dicintai oleh mereka yang masih bertahan hidup. Berapa banyak manusia yang mampu menahan airmatanya mencium apa yang mereka cium, ketika bau jenazah menguap di udara? Hampir 200 ribu orang berpulang ke Rahmatullah pada hari itu.
13 tahun sudah berlalu. Shalawat dan alfatihah untuk keluarga, sahabat, kerabat dan semua yang berpulang pada hari itu. Kami tidak melupakan kalian semua. Rasa syukur dan terimakasih atas semua yang peduli dan menunjukkan kasih dan cinta pada waktu itu. Semoga kita semua selalu bisa menarik pelajaran dari apa yang diberikan alam dan Tuhan pada kita.