Nah, itu, perempuan muda itu masih tetap datang. Langkahnya pelan tapi pasti. Sebentar lagi tentu ia sudah akan tiba di tempat aku berdiri. Dan setibanya di sini, aku tahu, ia akan menatap ke ujung jalan untuk beberapa lama, sampai kakinya pegal tak kuat lagi menahan beban tubuhnya. Kalau sudah begitu, ia akan berjalan mundur sambil matanya tak lepas memandang ke arah yang sama, lalu menyandarkan tubuhnya padaku.
Jangan sekali-sekali kalian merasa heran, bagaimana aku sampai hapal dengan perilakunya. Bagaimana tidak, kalau setiap hari perempuan itu sudah ada di sini setiap pukul tujuh pagi, dan tidak akan beranjak pulang sebelum matahari pamit undur. Lalu setiap siang, ketika matahari tepat di atas kepala, seorang perempuan lain yang jauh lebih tua akan datang untuk mengajak perempuan muda itu pulang. Perempuan tua itu masih terlihat cantik, walau matanya hampir tanpa cahaya dan tak sedikit pun senyum terlukis di bibirnya. Dan yang terjadi belum pernah berubah. Perempuan muda itu akan menggeleng, tanpa memalingkan wajahnya dari ujung jalan itu. Perempuan tua itu akhirnya akan meninggalkan perempuan muda itu seorang diri, dengan pesan agar segera menyantap makanan yang ia bawa dari rumah. Selalu, dan selalu, makanan dengan lauk yang sangat sederhana itu dingin tanpa sempat tersentuh sama sekali.
Tak lama lagi, akan lewat rombongan anak-anak yang pulang dari sekolah. Syukurlah dalam situasi seperti ini, masih ada yang sempat ke sekolah. Walau di halaman sekolah itu tak lagi terpasang tiang bendera. Ku dengar dari anak-anak itu, keputusan mempensiunkan si tiang bendera diambil dengan alasan keamanan dan keselamatan juga. Biar tidak bingung harus mengibarkan bendera yang mana, katanya.
Tidak seperti umumnya anak-anak yang suka iseng menggoda orang-orang yang dianggap aneh, anak-anak itu hanya diam saja setiap kali melewati ku dengan perempuan muda yang matanya menatap ujung jalan itu hampir tanpa berkedip. Sebagian dari mereka akan berjalan dengan menunduk, seolah-olah tak ingin melihat seribu duka di wajah perempuan itu. Tetapi sekali-sekali ada juga yang berani menyapa, “Belum datang juga, kak?”
Dan perempuan itu, herannya aku, akan tersenyum, dan menjawab, “Belum, mungkin sebentar lagi.”
Ketika anak sekolah itu tetap berdiri di tempatnya,perempuan muda itu akan menyuruhnya pergi. “Pulang aja, dek. Biar kakak aja yang nunggu di sini.”
Anak sekolah itu menggeleng. “Tapi aku mau ngawani kakak.”
Tetapi perempuan muda itu segera menuntun anak itu berjalan menjauhi ku. “Jangan sampai bingung nanti mamakmu mencari-cari. Ayo, lekas pulang.”
Dan aku senang senang melihat cahaya di wajah seribu duka itu. Ini baru wajah yang hidup, fikirku. Tapi setelah anak sekolah itu menjauh, walau dengan langkah yang ogah-ogahan, perempuan muda itu akan kembali menampilkan wajah hampanya, dengan mata yang tak lepas memandang ujun jalan.
Atau terkadang, anak-anak itu akan mengajak perempuan muda itu untuk pulang bersama mereka. Tapi ia hanya menggeleng. Atau lain waktu, anak – anak itu akan berlaku seolah-olah ikut mencari ke ujung jalan. Dengan memasang wajah kecewa, mereka akan kembali ke tempatku. “Enggak ada, kak. Ayolah, kita pulang saja. Abuwa dan Bang Hamid enggak akan pulang hari ini.”
Tapi lagi-lagi perempuan muda itu menggeleng. Sampai akhirnya, sekarang anak-anak sekolah itu lebih sering diam daripada menyapa. Kukira bukan karena bosan, tetapi mungkin khawatir kalau-kalau si kakak akan merasa terganggu. Siang ini samar-samar masih dapat kutangkap pembicaraan mereka ketika berjalan menjauhi kami, aku dan perempuan muda itu. “aku pingin Kak Fauziah seperti dulu lagi,” kata yang satu.
“Aku juga. Aku ingin belajar ngaji lagi dengan dia.”
“Iya, aku nyesal dulu bandel sekali. Nanti kalau kak Fauziah ngajar lagi, aku akan jadi anak yang patuh.”
Ah, anak-anak yang baik.
Aku menatap perempuan muda itu. Ah, ya, namanya Fauziah. Apakah ia mendengar harapan anak-anak itu? Siapa tahu itu bisa menggugah dirinya. Sayang sekali, kelihatannya tidak. Ia masih tetap bertahan di dekatku. Yach, ia hanya akan pulang kalu hari sudah gelap. Itupun mungkun karena aku akan segera digunakan oleh para laki-laki yang bertugas jaga malam. Seperti kemarin malam, ia baru beranjak ketika empat laki-laki berjalan ke arah kami.
“Masih di sini juga rupanya kau Fauziah,” kata yang lelaki berkopiah.
Fauziah hanya menggumam tak jelas, sambil mengemasi makanan yang tak dimakannya, lalu segera berlalu.
Keempat lelaki itu masih menatapnya menjauh. “makin hari, aku makin kasihan saja si Fauziah itu,” laki-laki yang berkumis tebal berkata sambil menyalakan rokoknya. “Betul-betul gila dia nanti, kalau dibiarkan begitu terus,” lanjutnya.
“Jadi, macam mana mau kita buat?”
“Kita bilang sajalah, kalau bapaknya dan si Hamid itu sudah meninggal. Biar enggak usah dia nunggu-nunggu mereka terus di sini.”
“Ah, sudah dicoba sama istriku, pak,” kata lelaki yang kurus sambil menghirup kopi kentalnya yang harum. “tapi si Fauziah malah nanya, mana kuburnya. Kurasa, udah enggak bisa dibilangin lagi si Fauziah itu, pak.”
Yang lain terdiam. Hanya menatap kepulan-kepulan asap rokok yang memenuhiku.
“Pak Juned, si Fauziah itu, sudah sah belum nikahnya sama si Hamid?”
Laki-laki berkopiah yang dipanggil Pak Juned itu mengankat bahunya. “Manalah aku tahu. Yang menikahkan mereka itu kan bapaknya si Fauziah sendiri, Pak Hasan. Beliau sudah hilang sama si Hamid, dibawa tentara-tentara itu. Pak Udin sama Pak Yusuf yang jadi saksi tewas ditempat. “ Dia menatap rekan-rekannya dengan wajah yang merah, menahan marah agaknya.
“Masih untung si Fauziah sempat dilarikan mamaknya keluar,” sambung laki-laki yang kurus.
“Ah, tapi apa gunanya. Dia malah jadi gila sekarang,” kata laki-laki berkumis.
Serempak ketiga laki-laki yang lain menatapnya dengan pandangan tak suka. Si lelaki berkumis menjadi serba salah. “Maaf, bukan maksud ku bilang begitu,” katanya pelan.
Pak Juned mengibaskan tangannya. “Sudahlah, bukan salahmu juga. Aku yakin, sebenarnya kita semua punya fikiran, atau paling tidak, kekhawatiran yang sama.” Pak Juned menghembuskan napas beratnya. “Tetapi kita tidak sampai hati untuk bilang,” lanjutnya.
“Aku masih ingat betul, waktu si Fauziah lari ke pos ronda ini, mengejar truk tentara itu. Sampai sekarang, rasanya aku masih marah kalau mengingat kejadian itu.”
Ketiga lelaki yang lain saling berpandangan. Sepertinya mereka punya perasaan yang sama. Aku sendiri, rasanya ingin berbagi juga dengan mereka.
Aku masih ingat betul, kejadian 3 bulan yang lalu itu. Hari itu, setiap orang yang lewat di depanku sibuk memuji cantiknya si Fauziah. Tentu saja, fikirku. Siapakah yang dapat menandingi kecantikan wajah kebahagiaan di hari pernikahannya? Sayangnya, bukan wajah itu yang kemudian dapat kulihat.
Mula-mula satu truk tentara melewatiku, memasuki jalan kampung dan hilang di tikungan jalan. Kemudian terdengar keributan yang sungguh menyeramkan. Bertahun-tahun aku berdiri di tempat ini, belum pernah ada suara-suara mengerikan seperti ini. “Apa yang terjadi?” aku berteriak pada orang-orang yang berlarian di depanku. Sayangnya tidak ada yang memperdulikanku. Ah, ya, bagaimana mungkin mereka bisa mendengar suara pos ronda seperti aku ini, keluhku.
Tiba-tiba truk tentara itu lewat lagi di depanku. Huh,sungguh berisik. Dan debu-debu yang diterbangkannya itu tentu akan membuatku batuk bila aku seorang manusia. Eh, bukankah itu Pak Hasan dan si Hamid? Mau apa mereka ikut tentara-tentara itu?
“Ba……………….Pak…………………….!!!!!!!!!!!!!!!!!!”
“Bang Ha….mid…………………!!!!!!!!!!!!!!!!”
Astaga, itu kan si Fauziah. Dia berlari ke arah ku. Mau mengejar truk tentara itu rupanya. Tapi apalah daya kaki-kaki kecil pengantin itu? Dengan cepat truk itu sudah membelok di ujung jalan, hilang dari pandangan.
“Ba…pak…………”
“Bang Ha…mid……….”
Duh, suara itu begitu lemahnya. Aku menatap iba pada perempuan muda yang mengucapkan kata-kata itu. Astaga, siapa saja pasti akan iba melihatnya. Pengantin perempuan itu, wajahnya penuh air mata, sanggulnya telah terlepas terurai. Ia jatuh berlutut ke tanah. Mulut kecilnya berulang-ulang memanggil ayah dan laki-laki yang seharusnya bersanding di pelaminan dengannya hari ini, sampai ia kemudian kehilangan kesadarannya.
Tiba-tiba aku tersadar dari lamunanku. Dari ujung jalan, muncul kendaraan yang selama ini di tunggu-tunggu Fauziah. Truk Tentara!!! Fauziah segera berlari menyambutnya dengan wajah gembira. Sebaliknya, aku malah khawatir, jangan-jangan sebentar lagi aku tak dapat lagi melihat Fauziah. Atau justru akan muncul Fauziah-Fauziah yang lain?
September 1999