Usiaku 20 tahun. Tidak pernah punya pacar, karena memang merasa tidak butuh pacar. Ketika teman-teman ku ada yang sudah sampai lima kali berganti pacar, aku tetap sendiri saja.
“Kenapa kamu tidak punya pacar?” tanya mereka.
“Untuk apa?” aku balik tanya.
“Ya, untuk menemani mu kemana kamu mau pergi,” jawab mereka.
“Aku tidak butuh ajudan,” jawabku.
Memang tidak, ulangku dalam hati. Untuk apa punya pacar?
“Kenapa kamu tidak punya pacar?” tanya ibuku.
“Untuk apa?” aku balik tanya.
Ibu memandangku gelisah.
“Kamu sudah 20 tahun”, katanya. “Masak kamu tidak punya pacar juga. Apa kamu punya kesulitan dalam bergaul?”
“Tentu saja tidak,” aku tertawa. “Ibu tahu, teman-temanku banyak. Aku tidak hidup soliter. Tenanglah ibu,” kataku sambil ku kecup pipinya.
“Kenapa kamu tidak punya pacar?” tanyaku pada bayangan yang muncul di cermin. Ingin kusentuh ia. Bibir yang sensual. Banyak yang ingin menciumnya. Aku tahu itu. Tapi tak sudi aku memberinya pada laki-laki biasa.
“Kenapa kamu tidak punya pacar?” tanyaku lagi.
Mata itu mengerjap dengan indahnya. Banyak yang bilang kalau ia seperti bintang yang bersinar di langit kelam. Tapi ia tak pernah menemukan laki-laki yang istimewa, batinku.
Bayangan di cermin itu bergerak ketika tanganku yang halus menanggalkan pakaian satu demi satu. Hampir sempurna, fikirku, sambil tetap menatap cermin. Tapi, kenapa kamu tidak punya pacar?
Bah! Apa tubuh ini dicipta hanya untuk seorang pacar?
Dengan gerakan cepat kukenakan kembali pakaianku. Kusisir rambutku yang sebahu. Ber-make-up sekedarnya – toh aku sudah cantik – dan setengah berlari aku menuju garasi. Aku sudah hampir terlambat untuk kuliah pagi ini.
Di mobil aku masih sempat bertanya ketika melirik ke kaca spion, “Kenapa kamu tidak punya pacar?” dan jawabannya kuperoleh pada saat itu juga.
“karena kamu memang tidak pernah jatuh cinta”.
Baiklah, aku akan menunggu saat itu, saat aku jatuh cinta, pada laki-laki yang juga jatuh cinta padaku. Dan aku akan berpacaran dengannya.
==========================
Usiaku 25 tahun. Dan untuk pertamakalinya aku bertemu laki-laki terindah di dunia.* aku tak menyangka akan begini. Aku lumpuh di hadapannya. Jantungku berdetak lebih kencang bila di dekatnya. Dan aku tak berani lama-lama menatap wajahnya, khawatir kalau ia melihat asa di mataku. Sungguh, ketika pertama kali bertemu, aku tak menyangka akan sedemikian hebat pengaruhnya padaku. Andai teman-temanku tahu kalau aku tak berdaya di hadapannya. Ah, ternyata benar aku terpesona padamu.
“Cintakah aku padamu?” tanyaku. Betapa bodohnya. Mengapa jadi pungguk merindukan bulan?
Laki-laki itu, mungkin tidak setampan para pangeran dalam dongeng masa kecilku. Tapi ia sangat menawan. Aku bahkan tak dapat mengurai, apa yang membuatku terpesona. Seluruh dirinya sangat indah, sangat memikat. Senyumnya, tatapannya, setiap gerakan tubuhnya, memabukkan. Sialan, aku benar-benar jatuh cinta! Lebih sialan lagi, dia juga jatuh cinta padaku.
“Kita tidak punya masa depan,” katakuU. Dia menatapku pilu.
“Tapi aku tak peduli,”kataku lagi. “Mari kita nikmati hari ini. Tak usah fikirkan masa depan.”
“Kita tidak bisa begitu,” katanya. Kita akan merasa sakit ketika hari ini berakhir, dan engkau yang paling merugi.”
“Aku tak perduli,”kataku lagi. “peluk aku, ciumlah aku. Aku cinta padamu. Engkau cinta padaku juga bukan?”
Laki-laki terindah itu memelukku. Duhai, aku terpesona padamu, bisikku. Walau kutahu, berjalan ke arah mu berarti menghancurkan segala. Tapi aku tak mau berpaling. Tidak, tidak sekarang. Aku ingin menghanyutkan diri padamu. Aku ingin terseret angin padamu tak berhenti. Paling tidak, tidak sekarang.
“Kamu berpacaran dengannya?” tanya ibuku tajam.
“Aku cinta padanya,” jawabku.
Jadi, benar kamu berpacaran dengannya?” Sekarang aku merasakan kemarahan dalam suara ibu..
“Dia seusia dengan ku. Engkau seusia deangan anaknya. Bagaimana ini bisa terjadi? Berfikirlah dengan jernih. Rasakan penderitaan istrinya dengan hatimu. Seperti tidak ada laki-laki lain saja!”
Memang tidak, batinku. Tidak ada yang seindah dia.
“Aku cinta padanya,” kataku. Ku lihat wajah ibu menegang. “Dan aku akan meninggalkannya,” sambungku. Ketegangan itu mencair.
Ibu mendekatiku, menarik aku dalam pelukannya yang selalu hangat. “Kamu masih muda, dan sangat cantik, cerdas, dan menyenangkan. Masih banyak cinta yang akan datang,” katanya.
Aku tahu itu. Tapi apakah cinta juga akan datang ke hatiku? Baiklah, aku akan menunggunya.
===================================
Usiaku 42 tahun. Dan hari ini aku merasakan kehadiran cinta. Mungkin karena ini adalah yang kedua kalinya, aku menjadi lebih peka, lebih cepat sadar akan kehadirannya. Ya, aku kembali bertemu dengan laki-laki yang sangat indah. Begitu indahnya, hingga aku tak berani membandingkannya dengan laki-laki terindahku yang pertama. Jadi kuanggap saja mereka sama indahnya.
“Aku cinta padamu,” katanya. “Aku ingin menikahimu.”
Aku mencoba mengingat bayanganku di cermin. Masih cantik, fikir ku puas. Masih menarik. Tapi tidak akan lama lagi. Semua itu akan segera pudar. Dan tiba-tiba untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa rendah diri, tidak percaya diri.
“Kamu masih muda,” jawabku pada laki-laki itu. “Jangan memilih aku.”
“Kenapa? Usia tidak menjadi soal,” protesmu. “Yang penting cinta. Apakah engkau tidak cinta padaku?”
“Tentu aku cinta. Tapi kita tidak punya masa depan,” kataku, mengulang ucapanku pada laki-laki pertama dalam hidupku.
“Aku tak peduli. Aku akan akan segera lulus kuliah. Dan pada saat itu, engkau bukan dosenku lagi. Kita adalah laki-laki dan perempuan yang saling jatuh cinta,”katamu yakin.
Dan aku yang tidak yakin. Oh, Tuhan, aku mengeluh. Mengapa cinta datang pada tempat yang salah?
=============================
Usiaku 45 tahun. Dan aku masih di sini, menunggu cinta. Berharap suatu hari akan datang cinta yang lain, yang indah, yang mudah, yang tak perlu menentang arus untuk mencapainya. Ya, aku akan tetap menunggu.
===============================
Usiaku 65 tahun. Dan aku tidak lagi menunggu cinta. Karena ternyata cuma ada dua laki-laki yang indah di dunia ini, yang cintanya tak berani kugenggam untuk selamanya. Tiba-tiba aku menyesali diri.