“Kakak bungkus aja ya dek, sambalnya, disana nanti susah makanan”, begitu kata ibu pemilik warung, yang membuatku malu. Walau hanya makan dengan nasi putih, sepotong ikan goreng dan sambal merah, makanan ini terasa nikmat benar olehku. Terutama setelah berhari-hari aku hampir-hampir tak bisa makan sedikitpun, memikirkan keluarga dan kerabatku yang waktu itu belum jelas nasibnya. Begitupun, sambalnya tak bisa kuhabiskan. Dan aku merasa ‘bangga’ dapat menghabiskan sepiring nasi putih dengan ikannya dan tak kasihan pada sambal yang tersisa. Ucapan pemilik warung itu yang kemudian dengan sigap membungkus sisa sambal dari piringku terasa menusuk hatiku. Mengapa aku membuang-buang makanan, sementara ribuan orang di sana pasti sedang kesulitan makanan?
Kami sedang singgah di warung makan dalam perjalanan menuju Banda Aceh, menjemput saudara-saudara dan kerabatku. Di warung itu hampir tidak ada apa-apa. Hanya ada nasi putih, ikan goreng dan sambal. Aku berharap bisa membeli yang lebih baik dan lebih banyak, tapi yah, apa yang kamu harapkan dari daerah bencana? Pemilik warung tidak mengizinkan aku membeli sebanyak yang ku mau. “Berbagi sama yang lain ya Dek,” katanya.
Dan begitulah, terselip rasa malu di hatiku ketika akhirnya aku berhasil menjumpai sepupu-sepupuku yang sedang berada di tempat pengungsian di bandara Sultan Iskandar Muda, dan hanya dapat memberi mereka beberapa nasi bungkus berisi nasi putih, sambal dan sepotong kecil ikan goreng. Namun penerimaaan dan rasa terimakasih mereka membuatku terharu. “Alhamdulillah, makasih ya Tan, udah berhari-hari kami ga jumpa nasi, cuma makan indomie saja,” kata sepupuku sambil memelukku.
Aku mengajak mereka ikut denganku, meninggalkan kota ini. Namun mereka menolak. Dan aku mengerti. Dan aku merasa kecil di hadapan mereka. Mereka datang dari Yogya untuk mencari ayah bundanya, dan terdampar di bandara ini, tidak bisa masuk kota. Namun kehadiran mereka di sini sungguh membawa manfaat bagi para pengungsi lain. Mereka membawa barang-barang bantuan, menghibur para pengungsi, dan bahkan membuka posko kesehatan karena salah satunya adalah mahasiswa kedokteran. Ah, Pakcik dan Makcik yang mulia, telah berhasil kalian mendidik sepupu-sepupuku menjadi orang-orang yang memperhatikan dan mencintai sesama, bahkan di saat mereka sendiri sebenarnya begitu, begitu susah hati memikirkan keberadaan kalian.
“Kakak tahu, begitu hausnya kami di tempat pengungsian, sampai ketika ada orang membuang botol aqua yang sudah kosong, orang-orang berebut mengambil botol itu, berharap masih ada setetes dua tetes yang dapat menghilangkan dahaga mereka.” Aku memandang wajah adikku. Wajah yang kemarin ku takut tak kan dapat kulihat lagi. Kupandangi keponakanku, yang telah berhari-hari, jangankan bisa minum susu, air putih pun belum tentu. Ya Allah, telah Kau beri kami kesempatan untuk kembali bertemu dan berkumpul, kesempatan yang tak bisa dinikmati oleh banyak orang lain saat ini. Kesempatan yang tentunya bukan untuk sia-sia belaka.
26 Desember 2015. Sebelas tahun telah berlalu. Begitu banyak pelajaran yang kuperoleh dari tsunami 2004. Namun aku menggigit bibir ketika mengetik ini, dan kembali merasa malu. Bahkan pelajaran yang paling mudah pun, untuk tidak membuang-buang makanan, masih belum berhasil kuresap. Makanan, yang begitu berharga bagi mereka di tempat lain, masih juga sering tersia-sia, disini. Ampuni aku, Tuhan.
#MengenangTsunami2004.
AlfatihahMa’aShalawatUntukMerekaYangKembaliPadaAllahPadaWaktuItu.