Usia ibu 50 tahun ketika ia mengabarkan aku bahwa ia baru saja membeli sebuah motor matic. Aku terdiam, dalam ketakberdayaan sekaligus kekaguman. Aku tahu di masa mudanya Ibu bisa mengendarai motor. Waktu aku kecil, ibu yang mengajari abangku naik motor, menggunakan motor ayahku. Dan itu motor besar, yang biasanya dikendarai oleh laki-laki. Maka ibu mengajari abangku di subuh buta, ketika jalanan belum ramai dan tidak banyak yang melihat ia mengendarai motor itu. Tapi itu sudah lama sekali. Sudah lama ibu tak mengendarai motor sendiri, dan kini ia hendak memulainya lagi, di usianya yang tidak muda lagi.
“Motor matic ini gampang pakainya. Cuma perlu gas dan rem saja,” kata ibuku, seperti bisa membaca kekhawatiranku di ujung telepon. Aku tersenyum. Aku tentu tak bisa melarang. Siapa yang bisa melarang ibuku kalau ia sudah punya tekad? Bahkan abangku juga tidak, walau mungkin ia beresiko dianggap tidak berbakti oleh teman dan kerabat di kota kecil kami, yang akan melihat ibuku di usia tuanya malah mengendarai motor sendiri. Toh kami tidak punya solusi lain yang lebih baik. Sejak ayahku terserang stroke yang pernah melumpuhkan sebelah tubuhnya, ia tak lagi bisa mengendarai motor sendiri, walau kini sudah bisa berjalan dibantu tongkat. Maka ayah perlu orang lain untuk mengantarnya bepergian, ke rumah sakit, ke tempat pengobatan alternatif, ke masjid, atau sekedar jalan-jalan menghibur hati. Dan siapa yang bisa melakukannya dengan setia selain ibuku? Tiga anak-anaknya termasuk aku, tinggal jauh di luar kota. Abang memang tinggal sekota dengan ayah dan ibu, namun tugas-tugasnya di kantor dan organisasi/LSM membuatnya tak bisa setiap saat hadir disamping ayah ibu.
Dan nyatanya aku memang tidak perlu khawatir. Dengan cepat ibu sudah menguasai motor matic-nya. Ibu memang sigap dan cepat belajar. Ah, hidup memang berputar. Dulu ayah yang membonceng ibu, sekarang ibu yang memboncengkan ayah.
Dan usia ibu 60 tahun ketika mengabarkan aku bahwa beliau sekarang belajar menyetir mobil. Belajar menyetir mobil untuk pertama kalinya. Kenapa? Ya, kenapa tidak? Ayah kini tak lagi bisa dibonceng dengan motor. Bukan saja karena beliau kehilangan salah satu jempol kakinya akibat penyumbatan pembuluh darah yang parah dikaki, tapi juga karena otot ayah memendek dan kaku, sehingga tak lagi bisa digunakan untuk berjalan. Ayahku berteriak kesakitan ketika perawat mencoba meluruskan kakinya dalam sesi fisioterapi. Ayahku, yang biasanya sangat tabah dan tak pernah mengeluhkan rasa nyeri yang dideritanya selama sakit, walau nyeri itu membuatnya tak bisa tidur berminggu-minggu hingga semakin menurunkan kondisinya. Teriakan itu menghantam hati ibuku dan membuatnya lemas dan gemetar. Tahulah ibu, ayah tak lagi bisa berjalan. Tak lagi bisa dibonceng di atas motor. Dan ibuku memutuskan untuk belajar menyetir, agar bisa mengantar ayah kemana-mana dengan mobilnya. Seperti hari itu, setelah memarkir mobil di halaman rumah sakit, ibu turun dari mobilnya, membuka bagasi, mengeluarkan kursi roda, membuka lipatannya, mendorongnya ke sisi kiri mobil, membuka pintu depan kiri mobil, lalu membantu ayahku keluar dari mobil dan duduk di kursi rodanya. Orang-orang yang melihat langsung tergopoh-gopoh mendekat hendak menolong. “Nenek, kenapa ga bilang-bilang kalau bawa kakek? Biar kami bantu,” kata mereka. Ibuku hanya tertawa.
Dan begitulah, orang-orang di kota kecil kami, yang nyaris mengenal semua penduduk kotanya, kemudian terbiasa melihat ibuku bepergian dengan mobil sedannya, dengan ayahku disampingnya. Pemilik toko, petugas rumah sakit, polisi lalulintas, mejadi hapal dengan ibuku. Ibuku, yang belajar menyetir pertama kali di usianya yang ke-60. Ibuku, yang tetap menyetir walau lututnya nyeri karena pengeroposan tulang mulai menyerang. Ibuku, yang selalu bersemangat dalam belajar dan bekerja. Cinta dan do’a kami untuk ibu selalu.
1 comment