Lelaki di Trotoar itu

Hatiku lega sekaligus waswas melihat seorang lelaki berdiri di trotoar itu. Lega karena paling tidak aku tak sendiri menunggu bis atau taksi di trotoar yg sepi ini, waswas karena aku tentu tak mengenal lelaki itu. Semoga ia orang baik-baik, harapku dalam hati.

Sekilas aku tersenyum begitu tiba di dekatnya. Dasar aku ini, pada orang asingpun aku bisa berbagi senyum. Tak kulihat balasan senyumnya, tapi kudengar suara beratnya menyapa pelan, “Eh, mbak MC.”

Aku jadi lega sekarang. Sapaan itu menunjukkan ia adalah salah seorang peserta acara bedah buku barusan dimana aku menjadi MC-nya, dan sebagai MC yang sempat berinteraksi sejenak dengan hadirin pada sesi kuis dan pemberian hadiah buku, aku tahu bahwa peserta acara ini didominasi oleh murid-murid atau jamaah pengajian sang ustadz penulis buku. Aku boleh berharap lelaki disebelahku ini adalah bagian dari mereka, mengabaikan penampilannya yang sekenanya, dengan rambut kusut sedikit gondrong dan brewoknya, serta tanpa senyum sama sekali dibibirnya. Benar-benar bukan penampilan anak pengajian, hehehe.

“Tinggal dimana Mas?” tanyaku mengisi kesunyian. Malam ini benar-benar sunyi. Aku berniat untuk menyetop apapun yg lebih dulu lewat, taksi ataupun bis. Semua bis akan melewati daerah tempat tinggalku yang sebenarnya tidak begitu jauh dari sini. Kalau saja ini masih sore, atau malam belum selarut ini, aku bisa jadi memilih berjalan kaki  menikmati waktu.

“Bekasi,” jawabnya singkat, dan tak ada pertanyaan balik. 

Bekasi? Jauh dooong. Ditempuh dengan kendaraan umum? Aku menghatur salut dalam hati padanya, sebagaimana salut yang selalu kuberikan tanpa kata pada orang-orang yang kutemui di tiap masjid, di tiap forum diskusi, yang datang dari tempat jauh, yang memerlukan niat dan upaya lebih untuk hadir dibanding aku.

Untunglah bis yang kutunggu datang. Aku melompat naik, mencari kursi dan duduk di bagian ditengah. Lelaki itu juga melompat naik, tapi memilih untuk duduk di kursi deretan belakang. Selang beberapa menit kemudian aku tiba ditujuanku. Insting(?) ramahku membuatku menoleh dan melambai pada lelaki itu sebelum melompat turun dari pintu depan. Ia kulihat hanya mengangguk sekilas.

Sejak itu aku tak pernah lagi bertemu dengannya, bahkan memikirkannya pun tidak. Kelihatannya aku sudah melupakannya sama sekali. Namun ternyata aku salah. Lelaki itu, trotoar itu, bis itu, masih sangat lekat dipikiranku, terekam baik di memori ku, dan muncul begitu jelas ketika aku bertemu lagi dengan lelaki itu hampir setahun kemudian. Dia masih seperti pertama kali aku bertemu dengannya, tak ada senyum dibibirnya.

Prabumulih, 6 Juli 2007

0 Shares:
3 comments
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like
Read More

Cake Pertama

Abaikan penampilannya, Yang penting rasanya… Kuhibur diri dengan dua kalimat itu, ketika melihat cake buatanku dan Zahra. Permukaannya…