Seorang teman meminta telingaku untuk mendengarkan ceritanya, kuberikan. Ia meminta waktuku tuk duduk bersamanya, kuberikan. Tissue di meja pun kusodorkan tuk ia menghapus airmatanya. Mungkin ia juga mengharapkan empatiku, yang ternyata sungguh sulit kuberikan. Apakah aku tak berperasaan? Mungkin. Apakah aku tak pandai berempati? Barangkali begitu.
Seorang diri kutelusuri hati mencari jawaban. Kubuka lembaran-lembaran lama tersimpan. Memang tak kutemukan empati dariku pada keluhan. Tak pernah ada empati pada keluhan yang diulang berulang-ulang. Tak ada empati pada hal ’kecil’ yang menurutku seharusnya bisa diatasi. Tak ada empati pada konsekuensi dari setiap tindakan. Tak ada empati pada kecemburuan atas keberuntungan orang lain. Tak ada empati pada sikap menyesali dan mengasihani diri.
Kubuka lagi lembar yang lain. Ada ketakmengertian pada keluhan seorang tante tentang kesehatannya sementara ia selalu melanggar pantangan makanannya. Ada keheranan pada teman yang tak berhenti mengeluhkan tinggi badan sementara ia cantik, cerdas dan berada. Ada ketaksabaran pada teman yang mengeluhkan hal-hal materiil sementara begitu banyak orang yang jauh kurang secara materiil daripadanya. Ada berkelebat tanya ketika teman mengatakan ia sungguh terpuruk sehingga tak bisa melihat keterpurukan orang lain. Ada ’bukankah kau tlah tahu’ ketika teman menangisi akibat yang harus ditanggungnya.
Lembaran berikutnya membantuku sedikit tuk menjadi lega. Ada kasih sayang ketika teman berpuasa sebagai bagian dari doa yang menemani usahanya melepaskan diri dari kesulitan. Ada cinta ketika seorang teman tertawa sambil menangis ketika terluka hatinya. Ada uluran tangan ketika seseorang menceritakan kepahitan hidupnya tanpa ’meratap’. Ada hormat pada sepupu yang menolong orang lain meskipun ia sendiri kesulitan. Dan ada…ada saat ketika aku belajar untuk menjadi lebih peka, ada saat ketika aku berlatih untuk menjadi lebih peduli, ada saat ketika aku menerima nasehat temanku agar aku tak menggunakan standart yang sama pada setiap orang.
Pada temanku yang membuatku menulis ini, maafkan aku bila semalam tak dapat memberimu empati setulusku. Maafkan ucapan ’aku tak mau dengar lagi’ ketika kau kembali membandingkan keberuntungan orang lain dengan kemalanganmu. Aku hanya ingin kau mengerti, ingin kau melihat lebih seksama, bahwa hidupmu sesungguhnya masih indah. Lihatlah sekali-sekali ke bawah, akan kau temukan orang-orang yang akan membuatmu lebih dapat mensyukuri apa yang kau miliki hari ini.
Jakarta, 28 Feb 07
2 comments
🙂
nais stori…mengingatkan utk selalu bersyukur…