Kalau anggapan umum menyepakati yang menimpa adalah kehancuran atau kesengsaraan–sering disebut azab. Dalam bahasa Indonesia: azab adalah skala besar atau sangat besar dari musibah. Disebut juga malapetaka, bencana, marabahaya. Musibah dikonotasi-negatifkan, padahal sebenarnya ia netral: ia “sesuatu yang menimpa”. Tidak harus harta dirampok orang–dapat istri cantik jiwa-raga juga musibah.
Kata amal biasanya juga dikonotasi-positifkan, padahal artinya adalah “mengerjakan”. Dalam Islam, azab berbanding lurus denga kufur: tak tahu diri, menentang keharusan-keharusan logis dimata Tuhan. Lawan kata kufur adalah syukur. Orang yang pandai bersyukur dijanjikan mendapatkan tambahan rahmat dari Tuhan.
Bencana Aceh mendorong banyak rohaniawan berpikir tentang apa saja pembangkangan manusia terhadap Tuhan. Apa dosa kita? Apa saja sebab Tuhan sakit hati dan naik pitam. Ada ulama yang menyetarakan bencana Aceh hampir sama dengan yang dialami masyarakat Nabi Nuh atau Nabi Luth.
Muncul pertanyaan: benarkah Tuhan terlibat dalam bencana Aceh? Apakah rakyat Aceh diazab oleh Tuhan? Kenapa yang diazab bukan kita? Apakah mereka yang meninggal itukah yang diazab, sementara yang masih hidup tidak diazab? Kenapa metode dan strategi azab Tuhan bersifat gebyah uyah atau menggeneralisasi? Meskipun yang dipakai adalah gempa dan bah, tidakkah kekuasaanNya sanggup mematikan mereka yang durhaka saja?
Yang lain berpendapat bahwa sesudah Rasulullah MUhammad SAW, Tuhan tak mengazab seperti dulu. Yang lain lagi berpendapat, sesudah Muhammad SAW, yang dijamin tidak ditimpa azab adalah mereka yang “bersama” Muhammad SAW. Yang menghadirkan Muhammad SAW didalam hidupnya, didalam hatinya, pikirannya dan kesadarannya, jiwanya, konsep dan perilaku hidupnya.
Tuhan berfirman: “Dan tidaklah Aku mengazab mereka karena engkau (Muhammad) bersama mereka.” Itulah yang didalam budaya shalawat disebut ‘ilmul hadlarah’ atau ‘ilmul hudlur’ alias ilmu kehadiran, pengaruh, peran, keberlakuan nilai yang disampaikan oleh Muhammad SAW didalam kehidupan seseorang atau masyarakat.
Tuhan terlibat atau tidak, tanyakan ke para geolog. Tanyakan: apakah seandainya Aceh tidak ada penduduknya, tsunami tetap terjadi? Andaikan bumi ini tidak ada penghuninya, apakah gunung tetap meletus, apakah tetap terjadi retakan-retakan dilapisan bumi atau perubahan struktur bebatuan padanya sehingga menimbulkan guncangan?
Kabarnya tahun lalu seorang geolog telah memperingatkan bahaya tsunami 2004. Tanyakan lagi, apakah peringatan itu berdasarkan pengetahuan bahwa Tuhan akan marah kepada umat manusia sehingga menciptakan gempa dan luapan air samudra; ataukah ia mengetahuinya karena ilmu tentang sifat-sifat bumi dan alam. Karena ia memahami pola dan tradisi perilaku alam.
Pola perilaku alam disebut “tradisi penciptaan”, bahasa Arabnya sunnatullah. Sunnah nya Allah. Ketentuan baku atas ciptaan. Jangan meludah sambil menengadah, karena air ludahmu akan menimpa wajahmu sendiri atas dasar kepatuhannya kepada hukum gravitasi. Jangan duduk diatas kompor menyala, karena api itu membakar. Ada bisul namanya letusan gunung. Ada siang, ada malam. Ada musim, ada cair-padat, keras-lembut. Ada hukum relativitas, sampai transformasi dari materi ke energi cahaya–sampai apapun saja.
Kalau para geolog memastikan yang terjadi di Aceh itu bukan gejala alam biasa, melainkan mendadak saja terjadi, maka namanya bukan lagi sunnah, melainkan qudrah. Inisiatif khusus oleh Tuhan, mungkin jengkel sama manusia. Qudrah ini semacam mata kuliah ekstrakurikuler di kampus, seperti dana non bujeter atau lebih gamblangnya semacam pemberlakuan keadaan darurat militer pada skala Tuhan di Aceh.
Qudrah menimpa kaum Nuh dan Luth. Insya Allah tidak menimpa rakyat Aceh, karena dilihat dari segala sudut pandang dan dengan parameter apapun: kita lebih durhaka dibandingkan rakyat Aceh.
Sebuah pesawat penumpang, yang mesinnya kedaluwarsa, karena cuaca buruk dan kepanikan pilotnya, dipastikan akan jatuh. Tapi syahdan, Jibril melapor kepada Tuhan: “Ya Allah, izinkanlah hamba menyelamatkan pesawat itu, sebab diantara para penumpangnya terdapat seorang pecinta Mu yang berwirid memohon-mohon keselamatan para penumpang, tanpa ia menyebut keselamatannya sendiri.”
Ternyata Tuhan mengabulkan. Menurut logika konsiderans hukum, mestinya si pewirid diselamatkan dengan cara “solo-landing” dengan kursinya, dan pesawat dibiarkan tercampak ke bumi. Tetapi tidak, Jibril atas izin Tuhan menyelamatkan seluruh penumpang bersama pesawatnya–karena kadar cinta si pewirid mampu meredakan sakit hati Tuhan kepada para penumpang lain yang tidak pernah memosisikan Tuhan sebagai faktor primer di dalam hidupnya.
Kisah ini saya tutturkan tidak untuk Anda tanyakan tanggal berapa terjadinya dan siapa nama pewirid itu. Melainkan untuk menambah bahan pertimbangan agar kita tidak terlalu gampang menuduh Tuhan mengazab manusia. Seandainya benar Tuhan mengazab, tanyakan pada diri sendiri: kita bangsa Indonesia, dan utamnya para pengurus negara, sebenarnya tak layak diazab?
Juga cara, bentuk, atau formula azab Tuhan pasti tidak klise dan monoton saja: gempa bumi, banjir, epidemi, serta segala sesuatu yang bersifat terlalu fisik. Azab Tuhan bisa “kreatif”, misalnya berupa kesesatan pikiran, kebuntuan ilmu, kebodohan, dan malas belajar berkepanjangan untuk selalu salah memilih pemimpin, atau budaya korupsi yang sudah menjadi makan minum sehari-hari. Meskipun bisa juga agak komikal: Tuhan mendatangkan hambanya yang dalam konteks Jawa ber-wuku Batari Durga yang berpasangan dengan Batara Kalla. (EAN)