Dari pengalaman dahsyat Aceh akhir 2004, mestinya bisa lahir sepuluh ribu puisi dan karya sastra lainnya, seribu buku neo-tafsir atas kitab-kitab suci, seratus buku ilmiah tentang sejarah manusia, serta sepuluh buku khusus geologi.
Tadi malam pada dua jam sebelum dan sesudah jam 00.00 yang terbaik dilakukan oleh manusia Indonesia yang punya otak dan hati adalah bertafakkur di tempat ibadah masing-masing, minimal di bilik sepi rumahnya. Kalau sudah terlanjur bikin acara, ya diupayakan yang kontemplatif dan hening. Kalau terpaksa nyanyi-nyanyi, diusahakan lagu yang tidak melanggar hati amat lembut penderitaan manusia yang sedang menderita. Diseyogyakan tidak joget-joget kecuali meraung-raung seperti suku Indian bersedih kehilangan kepala sukunya.
Kalau kesadaran dan kepekaan datang terlambat, sehingga tadi malam terlanjur berhura-hura, bertoet-toet, apalagi berfoya-foya – tidak masalah, asalkan pelakunya adalah orang bodoh.
Kalau engkau berangkat menjadi sukarelawan ke daerah duka di Aceh, siapkan fisik dan mental tiga kali lipat kekuatan biasanya. Bau sisa jasad para jenazah mengurungmu memerasmu mendekapmu menekanmu dan mencampakkanmu ke dalam rasa perih yang tak pernah engkau bayangkan sepanjang hidup. Medan amat sangat berat bagi fisikmu, hati dan perasaanmu, mentalmu, jiwamu. Mungkin juga engkau ikut hancur secara mental. Kalau itu terjadi, segera kasih waktu berapa hari kehancuran mental itu engkau ladeni, sesudah itu bersegera bersikap radikal kepada psikologimu sendiri untuk tegak kembali.
Kalau yang engkau alami adalah keguncangan dan kehancuran iman, ambil satu di antara dua pilihan. Pertama, resmikan bahwa engkau marah kepada Tuhan, tidak mengerti perilakuNya, kemudian memberontaklah dan jadilah atheis. Kalau tak mau ini, pilihlah yang kedua: belajar kembali kandungan-kandungan nilai Agama yang tidak pernah engkau dengar sebelum ini dari Ustadz dan Ulama manapun.
Jenazah puluhan ribu orang yang tidak menentu tempatnya, tidak utuh, sudah melembung, sudah lengket dengan benda-benda yang menindihnya – jangan difatwai agar ditata dengan rapi, dikafani dan dikuburkan satu persatu. Waktunya tidak cukup sama sekali, mayat tidak mau menunggu giliran, baru kemudian menghancurkan dirinya menjadi ludas.
Berapa ribu orang dibutuhkan untuk menata puluhan ribu mayat? Bagaimana caranya bisa sampai ke sana? Atas koordinasi dengan siapa? Kalau ada sebungkus makanan, jangan dibayangkan akan diberikan kepadamu terlebih dahulu, baru berikutnya adalah jatah ratusan ribu orang Aceh yang tersisa di daerah penuh derita jiwa raga itu.
Ketika Presiden Susilo datang ke sana, sejak menjelang siang ia datang baru makan nasi darurat pada jam 10 malam. Seharian hanya berbagi aqua dan orange dengan para Menteri dan semua pesertanya. Kalau engkau datang ke sana menjadi sukarelawan, jadwalkan tiga hari saja, sesudah itu berganti orang lain. Kalau tidak, engkau akan menjadi beban baru yang merepotkan.
Hari demi hari akan berlalu, aku persilahkan engkau jangan kaget jika lambat atau cepat akan menemukan berbagai ketidak-murnian iktikad dibalik riuh rendahnya ummat manusia menolong saudara-saudaranya di Aceh.
Tapi jika engkau menemukan ini, tetap jaga mulut, tidak usah menambahi orang bertengkar. Ini situasi takziyah, dan belum tahu kapan nuansa duka ini akan berakhir.
Jangan kaget kalau ada dua gejala. Pertama, tokoh ini atau itu memanfaatkan inisiatifnya ke Aceh untuk mencuri image, untuk menabung kampanye, membusungkan dada sebagai pahlawan dan menghancurkan lainnya agar jangan menjadi pahlawan. Tapi orang macam ini akan kecelik, ia akan mengalami bumerang, akan akan terjengkang oleh momentum kontra-produksi dan titik jenuh atas sesumbar kepahlawanannya.
Kedua, tidak ada sistem dan institusi yang solid untuk mengontrol amanat sumbangan dari seluruh dunia ke Aceh. Jangan gugup kalau ada korupsi,penyelewenan, manipulasi. Mohon dimengerti bahwa Presiden kita sendiri dalam menangani Aceh tidak berada dalam satu koordinasi dengan Wapresnya. Sekurang-kurangnya terdapat persaingan diam-diam di antara beliau berdua.
Dalam keadaan normal saja pemerintah kita, yang kemarin-kemarin maupun yang sekarang, tidak siap menangani maintenan dan logistik nasional bagi rakyatnya. Apalagi dalam keadaan darurat dan dengan tantangan problem yang terlalu besar untuk invaliditas pemerintahan kita.
Pelan-pelan harus kita mulai pahami beberapa hal berikut ini, yang dalam tulisan ini belum bisa saya uraikan secara panjang lebar karena keterbatasan halaman.
Pertama, tsunami itu sunnah Allah, bukan qudroh. Sunnatullah itu hukum alam. Ada siang ada malam. Ada rendeng ada ketigo. Ada kemarau ada musim hujan. Ada gravitasi. Ada susunan langit dan bumi. Ada lapisan bebatuan, struktur tanah, retakan, atau udun di perut bumi yang kalau muncul bernama gunung meletus. Ada metabolisme alam. Sebagaimana jasad manusia bisa kedutan, bumi juga kedutan. Kedutan di bagian bumi bisa mengakibatkan bergesernya cairan dan padatan, dan karena manusia sangat kecil maka ketika ia ditimpa pergeseran itu dirasakannya sebagai bencana besar.
Kalangan geolog Indonesia tertentu tahun lalu sudah memperingatkan bahwa kemungkinan akan ada perilaku tsunami yang tidak kecil. Sekarang mereka mencucurkan airmata menyesali kenapa peringatan itu tak digubris oleh mereka yang berkewajiban atas keselamatan rakyat Indonesia.
Andaikan di bumi Aceh, Srilangka, bagian tertentu dari Malaysia, Maladewa, India, Thailand dll tak ada penduduknya, maka tsunami itu tetap juga terjadi. Anda jangan mendirikan rumah di tanah yang rawan, supaya kalau nanti tanah itu longsor dan rumahmu ambruk lantas engkau tidak berkata: “Ya Tuhan, apa salah saya?”. Salahmu adalah tidak memilih tanah yang bebas longsor. Jangan berbaring mengantuk sambil merokok, kemudian tertidur dan rokok membakar baju dan kasurmu lantas engkau mengeluh: “Ya Allah, kenapa Engkau mengadzabku”.
Qudroh adalah Tuhan menyikapi perilaku manusia secara spesifik sehingga mengambil keputusan yang sebenarnya tidak “terjadwal” dalam skedul sunnahNya. Tuhan marah kepada ummat Nabi Nuh dan Nabi Luth, lantas menciptakan gempa dan banjir besar. Bukanlah demikian yang terjadi di Aceh, sebab berdasarkan fakta sejarah dan batas akal sehat manusia –
inisiatif qudrah Tuhan yang demikian lebih proporsional untuk ditimpakan kepada kita, dan bukan kepada orang Aceh.
Jadi cemburulah kepada puluhan ribu rakyat Aceh yang diberi keringanan oleh Allah, diizinkan untuk tidak meneruskan keterlibatannya di dalam kehidupan yang tidak menentu di Republik Indonesia ini. Mereka dimerdekakan dari kebusukan hidup, kehinaan dunia dan sakit sejarah yang berkepanjangan dan sia-sia. Mereka disongsong Malaikat dan langsung disemayamkan di sorga berderajat tinggi. Jadi, ini bukan adzab Allah? Bukan atau belum?
Hati-hati memasuki tahun 2005, agar salamun hiya hatta mathla’il fajr 2009. Mari ambil cermin, pandang wajah dan kelakuan kita selama ini : disebelah mana dari wajah politik kita, kebudayaan kita, akhlak kita -yang tidak layak diadzab oleh Allah?****
(gue belum tahu, siapa penulisnya ya? dapat dari email siy)